Kamis, 05 Juli 2012

Peran Modal Sosial dalam Semarak Desentralisasi


           Modal sosial dalam masyarakat dipahami sebagai suatu entitas yang jamak, bukan entitas tunggal yang didapat oleh seorang atau sekelompok orang. Modal sosial bekerja secara kolektif dengan keterkaitan antar unsur-unsur penting yang membentuk substansi modal sosial tersebut. Hal ini senada dengan ungkapan Putnam (1998) dalam Sutoro Eko (2004), bahwa modal sosial mengacu pada norma dan jaringan kerja masyarakat sipil yang melicinkan tindakan kerjasama di antara warga negara dan institusi mereka. Modal sosial merupakan hasil tindakan sebagian atau keseluruhan dari asosiasi masyarakat dalam mencapai suatu tujuan bersama yang dianggap menguntungkan oleh asosiasi tersebut. Putnam (1998) dalam Sutoro Eko (2004), menambahkan bahwa modal sosial merupakan sesuatu yang dimiliki (atau tidak dimiliki) oleh individu lain atau kelompok orang di daerah, komunitas, kota, negara, atau benua, serta dapat dipertukarkan dengan masyarakat sipil. 
       John Field (2010) mengungkapkan gagasan sentral modal sosial adalah bahwa jaringan sosial merupakan aset yang bernilai. Jaringan ini memberikan dasar bagi kohesi sosial karena mendorong orang bekerja satu sama lain, dan tidak sekedar dengan orang yang mereka kenal secara langsung, untuk memperoleh manfaat timbal balik. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu bergantung dengan orang lain di sekitarnya. Secara normatif manusia akan menjalin hubungan secara mutualistik dengan sesamanya. Dengan membangun hubungan dan menjaganya agar terus berlangsung sepanjang waktu, manusia mampu bekerja bersama-sama untuk mencapai berbagai tujuan. Dalam konteks modal sosial, orang berhubungan melalui serangkaian jaringan yang di dalamnya cenderung terdapat kesamaan nilai dengan anggota lain di dalam jaringan tersebut. Jejaring tersebut merupakan sumber daya dan dipandang sebagai modal. Jaringan ini merupakan bagian dari hubungan dan norma yang lebih luas yang memungkinkan orang mencapai tujuan-tujuan mereka, dan juga mengikat masyarakat bersama. 
          Selain jaringan, unsur penting lainnya dalam modal sosial adalah kepercayaan (trust). Kepercayaan dalam modal sosial bisa menjadi atribut institusi dan kelompok maupun individu, dan seringkali didasarkan atas reputasi yang diperantai oleh pihak ketiga (Dasgupta, 2000) dalam John Field (2010). Sinergitas stakeholders dalam konsep sustainable development, setidaknya mensyaratkan adanya kepercayaan (trust). Kepercayaan memainkan peran vital dalam memperoleh akses manfaat jaringan sosial. Bagi masyarakat lokal, kepercayaan ini akan mendorong peningkatan peluang terhadap akses sumberdaya dan hasil pembangunan. Sedangkan kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintahan akan mempengaruhi peran dan partisipasi masyarakat secara luas. Pengakun hak dari pemerintah untuk masyarakat lokal akan mendorong timbulnya trust dan mendukung ke arah good governance. Hal ini lah yang menjadi salah satu pertimbangan diterapkannya konsep desentralisasi sejak awal reformasi dulu. 
           Sejak berlakunya konsep desentralisasi dalam konteks otonomi daerah (otoda), maka telah terjadi pergeseran paradigma dalam pembangunan, yakni state based management menjadi community based management. Implementasinya telah merubah kebijakan yang sentralistik dan top down menjadi desentralistik dan bottom up. Esensi penyelenggaraan otoda ialah mengakomodir fungsi dan peran elemen-elemen lokal dalam pembentukan daerah yang mandiri dan kompeten untuk mendukung pembangunan. Desentralisasi dan dekonsentrasi kekuasaan menjadikan aktor lokal, baik pemerintah daerah, organisasi sosial, maupun masyarakat sebagai balancer pemerintah pusat dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan publik. 
         Dalam era desentralisasi, peluang akses masyarakat terhadap jaminan kesejahteraan sosial (social walfare) seperti menemukan jalannya kembali. Pemerintah daerah, beserta segenap stakeholder di aras lokal semakin intensif menjalin kerjasama dan kemitraan untuk membangun daerahnya dengan memaksimalkan potensi yang dimilikinya, termasuk potensi modal sosial yang dimiliki masyarakat lokal. Masyarakat lokal, merupakan bagian organisasi kehidupan sosial yang mempunyai karakteristik khas untuk hidup bersama-sama membentuk jaringan kehidupan sosial yang lebih kuat secara internal maupun eksternal. Dari sisi internal, institusi lokal bergerak dengan kekuatan modal sosial untuk mencapai tujuan kolektifnya. Sedangkan dari sisi eksternal, institusi lokal membangun kemitraan dengan stakeholder untuk mengakomodir peran dan partisipasinya dalam pembangunan.
         Desentralisasi memiliki arti penting untuk peningkatan kapasitas organisasi pemerintahan dan perbaikan mekanisme pembangunan daerah di tingkat lokal. Tujuannya jelas, bahwa implementasi desentralisasi diharapkan mampu membuka peluang demokrasi sebesar-besarnya dalam keseimbangan peran para aktor, baik pusat maupun daerah. Desentralisasi berpeluang menghapuskan hegemoni penguasa dan birokrasi terhadap masyarakat sipil (civil society). Proses ini selanjutnya mampu mengarah kepada rekonstruksi politik yang lebih demokratis. Penguatan demokrasi lokal ini berfungsi untuk menunjang potensi modal sosial masyakat dalam bentuk elemen-elemen yang saling menguatkan, seperti trust, social network, dan shared norms.
          Purwo Santoso (2008) menyatakan bahwa modal sosial tidak hanya diperlukan untuk mengelola relasi internal dalam komunitas yang bersangkutan, tetapi juga untuk memastikan komunitas tersebut handal dalam menjalin relasi dengan pihak eksternal. Terlembagakannya mekanisme yang partisipatif dalam rangka perumusan tata pengelolaan kepentingan publik di tingkat desa yang melibatkan stakeholders di dalamnya, akan mampu membakukan tata pemerintahan desa lebih sensitif dan akomodatif terhadap relasi-relasi informal, di mana modal sosial dalam komunitas tertangkarkan. Dalam konteks ini, modal sosial yang sifatnya menjangkau pihak luas sebagai fungsi aspek jaringan, bisa menjadi medium aktualisasi modal sosial, sekaligus saluran aspirasi masyarakat, sehingga proses yang partisipatif pun berjalan. Konsepsi semacam ini yang diharapkan mampu mendukung keberhasilan pembangunan berkelanjutan di era desentralisasi seperti saat ini.
           Norma, kepercayaan, dan jaringan sebagai komponen modal sosial merupakan aset berharga yang dimiliki masyarakat lokal. Melalui pengoptimalan modal sosial ini, timbul semacam motivasi positif secara internal untuk ikut serta berperan dalam program pengembangan masyarakat (community development program). Desentralisasi menawarkan sejumlah peluang bagi masyarakat setempat untuk mendapatkan ruang aspirasi yang lebih besar dalam penyusunan kebijakan pembangunan, termasuk upaya pengembangan dan pemberdayaan masyarakat atau institusi lokal. Namun, seringkali karena keterbatasan pemahaman dan pengetahuan terkait proses-proses kebijakan, masyarakat cenderung dirugikan dan kurang terakomodir kepentingannya. Oleh karena itu, di sinilah poin penting peran modal sosial tersebut. Kemampuan masyarakat dalam mengorganisir dan memanfaatkan modal sosial yang dimilikinya akan membantu pada proses pemberdayaan peran dan peningkatan ruang partisipasi dalam sistem pembangunan berkelanjutan. Di sini lah poin penting yang ingin dicapai dalam semarak desentralisasi tersebut. 


Referensi :
Eko, Sutoro. 2004. Modal Sosial, Desentralisasi, dan Demokrasi Lokal, dalam Jurnal Analisis CSIS, Vol.33, No.3, September 2004 : Penguatan dan Modal Sosial Masyarakat. Jakarta : Centre For Strategic And International Studies. 
Field, John. 2010. Modal Sosial. Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Santoso, Purwo. 2008. Pengelolaan Modal Sosial dalam Rangka Pengembangan Otonomi Desa : Suatu Tantangan, dalam Suharman (Ed): Bunga Rampai Pemikiran Pedesaan 2002-2008. Yogyakarta : Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM.