Rabu, 21 Desember 2011

Syair Pujangga

Berdiri di ujung penantianQ
Merujukkan Hati yg ttp membeku
Ada kalanya kita meronta
Ada kalanya Hati mendamba
Tapi siapkah Qt lewati arus angkara ini???

Beribu2 lapang yg Qt tunggu
Musuh dalam bayangan cinta
Tetapkan diri tuk terus bangkit
Karena Qt manusia2 pujangga
Manusia yg tk prnah lelah bercinta

Keikhlasan dihempas angin malam
Hanya nafas2 kelam yg Qt dengar
Terus sj dilanda rindunya mentari
Di sini saat smw Qt jalani

Pastinya bs Qt menunggu
Menyimpulkan tali2 perantau
Menggembalakan cinta2 muda

Kerap Qt coba
Sering Qt rasa
Satu warna yg mengawang
dan bagian hati yg hilang
Cukuplah...
Cukup tuk bwt Qt mati !!!

Manusia Baru...

Bidur2 awan yg bergemerlapan,,
dan mendung yg tampak bercahaya,,
berbagi hujan tak bermata

Tasbih2 suci bertebaran
Gelimang ayat tak terbaca
Sayatan dzikir tak bersuara
Gema takbir berpadu duka

Bangun dari kelelapan dunia
Menghapus warna dosa
Dan hilang daya yg lalu
Berdiri di ambang manusia baru

Kembali adzan berkumandang
Mengetuk mata yg terbuai
Berjalan pada hati yg membeku
Memburu satu jengkal harapan

Manusia lama runtuh perlahan
Di tepian ayat2 kenistaan
Membuka Qur'an yg tergenggam
Menghamparkan do'a2 kalbu

Entah sampai kapan,,
gerilya tangan2 beku,,
mati dalam pusaran bisu,,
bangkit lg di kedalaman hati
Membungkam suara parau yg menangisi amal dosanya

Lihatlah !
Di atas api yg membara,,
berjalan beribu2 kaki
Manapak tilas jejak amanh-Mu
Merengkuh aroma khas bau darah-Mu

Di atas api berlari,,
tangan dan kaki terhenyak
Ayat2 direngkuh
Surat2 dijabat
Martabat dihempaskan
Keikhlasan diapungkan

Atas nama Ramadhan
Ketika ribuan mulut yg berbatas
Ketika ribuan mata terjaga
dan ketika ribuan telinga tertutup rapat

Hanya pada-Mu
Hanya pada-Mu
Manusia baru bertumpu
Manusia lama berlalu...

Lelaki tanpa "koma"...

ke mana angin kn berhembus,,
ke tepian hati kn menghunus...

ke mana air kn mengalir,,
ke hilir kalbu kn mengais...

mata bocah tak bertuan..
bermimpi raga tanpa pijakan..
wahai Tuan nan agung..
perkenankan kiranya saya bersanjung...

jika waktu pergi dini,,ingatkan malam yg berganti siang..
smw mendamba dalam ketidakwajaran...
sungguh Tuan,,handai tolan lurus pandangan...

serentak menghadap ke depan..kobarkan sajak2 Tuan..
berdiri mematri bisu dalam reka gerak dolanan...

Tuan...sekali lg saya bertutur...
Tuan...periuk2 tua yg kau tatap lekat..tak kn lekas usang...
Tuan...kertas2 kumuh yg kau tera..tak kn cepat hilang...

meski mimpi tak bersandingkan harap..mentari ini boleh bersua,,
hingga mlam sekali lg menjawabnya...
tak perlu seribu duka...
tak perlu tangis pilu...
tak perlu desah sesal...
tak perlu bait baru...
tak perlu syair untukmu,,untuk kami,,untuk mereka...

kami tahu...
ya,,sekali lg kami tahu betul...
apa yg kau berikan pd kami Tuan...

sekian kali pula aQ bertutur padamu Tuan...
jejakmu tak perlu kau cari2...
mereka tlah ingat betul siapa engkau...
di sini kami mengharu biru dalam sajakmu...


(teruntuk bapak kami : WS Rendra)

"KAU"...

mengejamu lwt nada,,bertutur ttg cerita..sebuah kisah yg tengah jengah membungkus "rasa"...
semakin terlelap dlm telisik gelap,,yg mencari terang,,membaur lantang...
tuturmu adalah keindahan,,senyummu adalah impian...

tak sempat Q pandang "KAU" lekat2,,hanya sekilas bayangan yg beringsut kalut...
lantas gemetar meretas getir...
detik2 yg kembali hening,,hanya neraca waktu yg mulai condong tak seimbang...
bimbang yg menikam lirih,berjalan tertatih2...
Q sambut rinai hujan tanpa pelangi,,hanya bisu kala tengadah membaur resah...

bibirQ bergumam galau,,lalu tertunduk merajuk namamu...
tubuhQ mengejang,,otakQ panas mengeja wajahmu...
tanganQ keras mengepal,,menanam "rasa" yg membuncah memenuhi aliran darah...
lalu rebah terkapar,,menggumuli sunyi sembari meratap pd mlm...

kerinduan ini membunuh imaji...
membutakan arahQ,,meregangkan sendi2 yg Q patri mati di sudut mimpi...
akankah "bulan" temaniQ tuk sejenak bercerita ttg dunia...
sepenggal intuisi yg Q susun dari barisan do'a,,dipadu harmoni klasik temanQ terjaga...

malam yg sama ketika satu persatu Q hempaskan ragu..
sekejap waktu untukQ bebas bergerilya,,tanpa "KAU",,tanpa sedikit cela sebagai pembuka...

"KAU" tk boleh tw itu,,
cukup aQ yg menikmatinya...meleburkan "rasa"Q dlm elegi tanpa makna...
sungguh "KAU" tk perlu tw,,
hanya drama melankolis yg malu2 bercerita,,menantang logika..
dan "KAU" cukup tw saja...aQ lah tokoh utamanya...

seketika hujan turun lagi..
sekejap waktu yg hentikan nadiQ..tp tidak nafasQ yg selalu hembuskan namamu...
ingin Q beranjak pergi,,membasahi kepalaQ yg penat sudah...
meminta lbh banyak butir2 air tempatQ menitipkan rindu akan "pelangi"...
warna yg sempurna sbg pelengkapQ bercerita..pd mlm,,pd sunyi yg memenjarakan hati...

entah dmn,,kpn wktu menghapus jenuhQ,,menjawab keluhQ...
hgg ckp bagiQ duduk terdiam tanpa perlu bermimpi lg,,
karna Q tw "KAU" ada di "sini"...

di sudut "ruang" itu...

tk sempat berpikir knp aq ada ??
tk perlu berpikir knp ini nyata...
lntas akankah berpikir itu satu2nya hal yg biasa ??
mataQ semakin rapuh memandang,,pendengaranQ melemah,,lidahQ menyusut tuk sekedar bercerita..ttg kisah,,ttg cerita yg tk prnah bs Q cerna...

"mengejamu" memang butuh waktu,,dan ckp bagimu diam di situ..karna aQ tak ingin "tempat" itu kosong..biarkn aQ yg berpikir,,berperasa...

isyaratQ pada kata,,jengahQ pada suara...mencoba menikmati ragu,,tanpa batas yg kian semu...aQ satu2nya cerita,,ketika mlm tk kunjung usai beretorika,,dan pagi enggan lekas menyapa,,aQ satu2nya bahasa..ketika nada sulit mengeja,,dan harmoni kian menggila...
aQ...........
satu2nya yg ada...tempatmu berkisah,,sandaran di kala lelah,,senyum tanpa air mata...
aQ...........
dptkh kau percaya ??
janji orang "biasa" dgn harapan "luar biasa"...

"ruang" ini tlah sesak olehmu..ucapmu,,senyummu,,keindahanmu,,tangismu,,sedihmu,,tawamu,,dan smw tentangmu tlah terbingkai rapat2 di "sini"..di ruang yg tak bs Q sentuh..di ruang yg hanya bs Q rasa..kau ada di "sana"..........

dan kini q takut,,seberapa lama Q bs brtahan..seberapa kuat Q mampu berdiri di tempat ini..sungguh Q tk pernah ingin tw btasnya...
ijinkan aQ sejenak rebah di sana...hanya mimpi2 yg kan Q bawa terjaga dlm tidur...lantas memenuhi ruang itu sekali lg..
msh tentngmu,,jgn kau hadirkan perbedaaan,,perubahan yg tk ingin Q nikmati dgn goresan luka,,ataupun senyum tanpa makna.........

Q ingin kau ada...hiasi ruang itu sesukamu,,sesekali sj Q kn menengoknya..memastikan kau tetap di sana..melakukan hal biasa yg membuatQ tk biasa...dan aQ tak ingin mengusikmu di sana,,bebaskan..urai smw gembiramu,,smw senyummu,,smw bahagiamu.....ckp melihatmu dari balik jendela,,yg sesekali angin kn menghembuskan nafasmu mengalir keluar..menyentuh kulitQ,,mengalir bersama darahQ,,dan mengendap di dasar bahagiaQ.......

di sudut "ruang" itu aQ menunggu...
akankah penantianQ sia2 ??
cb tunjukkan padaQ jawabnya !!!

Tentangmu...

terlalu lama "KAU" memndam rindu..mengaduh sendiri pada sepi yang gaungkan keluhmu,,lirihmu,,rintihmu...
dan aQ di sini hanya bs mengagumi indahmu dri blik resahQ..memuja elokmu lewat gundahQ...

meminta lebih banyak,,memberi tak serupa..
AKU merangkak lesu,,berbaring lemas meratap harmoni sendu...
menggulir peraduan hingga batasQ mengepal legam...
memintal senyuman yg cb KAU usung sendiri,,tanpa arah yg tak banyak orang bs menikmati...

kpn terakhir kali KAU tersenyum,,aQ tk tw...
kpn terakhir kali KAU bicara,,aQ pun ragu...

sudahlah,,AKU memang tiada guna..memeras keringatmu dri balik canda tawa..
melihatmu begitu mempesona,,tiada tara..meski intan permata congkak tawarkan kilaunya...

AKU tiada henti memeluk bayangmu,,meski lewat jalan2 yg rapuh terinjak dosa lalu...
AKU tiada bersua malaikat,,hanya sayapmu mengepak di balik gugupQ berucap...
AKU tiada berdoa khidmat,,cukup jarimu lembut usapi lelahQ pekat...

AKU...lantas artikan KAU dalam kalbu,,menyimpannya rapat2,,hgg tak seorangpun dpt mengeja namamu dgn suara paraunya yg kusut dan "berdebu"....

AKU...lekas sekali saja inginkan cerahmu merebak di wangi dedaunan,,mengguyur pilu dengan nyanyian yg mulai usang...


KAU....IBUKU...

"Siluet"...

menikmati pagi begitu sunyi,,menghantarkan rinduQ akan pelangi ketika Q tw hujan kn ttp seperti ini,,tanpa henti.....
mencumbu mlm dri balik resahQ,,kala Q terjaga tanpa sedikit celah,,tapa teguran tuk tetap gundah.....

dalam semilir angin yg hembuskan mimpi,,dalam dekapan embun yg hadirkan lirih...
aQ tertegun...aQ tergagap...aQ tersentak...

tiada gunaQ mengeja,,tanpa koma meski titikQ dengan tanda tanya menyeru biru...
melampaui elok yg meneguhkan hati,,bersama saat fatamorgana habis mengikis dini...

kemana dirimu hadirkan siluet pagi,,aQ membacanya sebagai isyarat..jejak langkah yg kian dekat ke barat,,ke padang imajinasi yg menyapaQ perlahan,,lantas semakin erat ke timur,,ke bentang nurani yg mendekapQ rapat...

bayangmu tampak nyata di sana,,di tempatmu menyelami mimpi sendiri...dan semakin nyata di sini..di tempatQ menjaga hati untukmu...

"Sensasi"...

dan saatnya tiba...menjelang makna barisan genderang berpadu...
gegap gempita waktu menyita suara..membungkam cakrawala,,lelayu dalam tidur tanpa do'a...

harmoni ini seperti sediakala,,jelajahi mata2 tua dan sergapan fajar tanpa celah,,tanpa sekat...
bilik yg teramat kecil,,terasingkan dalam pinggiran ke tepian..trus menyusut di satu titik elegi...

kultur tanpa koma yg menyirat dunia dalam batas2 normatif yg enggan berbisik lirih..meski dengusnya tetap terdengar kencang di telinga..lantas menembus otak,,renponsif menekan motorik tuk memandu efektor ke muka..ke lapis tipis permukaan yg mereka sebut "kebebasan"...

dunia memang gila,,sadar beranomali dalam batas tanpa seru!!!
cukup tanya yg tak kn tuntas berdiskusi ttg kata "mengapa"..."bagaimana"...bahkan tuk mengeja namanya sendiri perlu bertolak dari fikir...

kendati pun demikian nista,,liuk2 langkah yg mereka jejak..mereka jejali dgn legitimasi abstrak khas pantun jenaka...

layaknya ketika siang mereka mengiba panas,dan malam mengeluhkan dingin...
progresif katanya,,tp entah dmn arti "retrogresif" mereka selipkan di antara waktu2 yg mudah menguap itu...

"sensasi"...dunia hanya menghafal,,bkn mengeja...

"Perjalanan"...

sejenak Qt nikmati ceria...msh tersimpan memori itu,,ketika mata2 Qt beradu pandang,,tangan saling mengepal,,kaki menjejak dalam..berlari sekencangnya Qt mengoyak waktu...Qt lampaui batas2 tanpa lelah..semua saat bersama mengenal mimpi dan menjangkaunya dgn derai air mata dan tawa khas Qt...tak kn sedikitpun dera Qt rasakan sendiri..tanpa jeda layaknya Qt berkisah..celah2 yg terbuang hampa di tangan kiri,,dan sergap semangat yg trus tergenggam d tangan kanan..

tak terperi semburat warna jiwa2 Qt ketika mencoba tegak bersama..berdiri tunjukkan nyali Qt,,tundukkan dunia..tertawa lepas..menyusuri jalan2 yg usang..tempat Qt memulai goresan nada,,hgg meleburkan suka duka..

Qt adalah manusia baru,,yg berdiri dari dunia lama,,bertumpu atas rindu..melodi senja yg Qt banggakan dlm siluet pelangi setelah rinai hujan..mshkah kau ingat kawan,,rintihan d gelapnya mlm,,serenada yg lepas satu2,,mengurai bisu...tetapi d matamu hanya sebuah ilusi semu...

aQ meretas pikir lewati fantasi maya dunia..menjemput pagiQ,,menunggumu melambaikan tangan..lantas kembali bergandeng tangan menatap hari2 yg segan bersahabat..meski Qt tahu,,hasrat terasa menggebu,,remuk redam hadapi celotehan dan hardikan...

jelas sudah mengapa Qt yg terhebat...sahabat sepertimu,,persahabatan seperti itu..daun2 yg gugur,,ranting yg mencuat,,hembus angin ke wajah Qt..dan hujan yg Qt rasakn bersama..membasahi kepala2 yg kering sudah...membungkam mulut Qt akan pelangi di sudut senja...menuai warna...

SAHABAT...hilang deras hujan tak tergantikan..dan sinarmu benderang..maka tak perlu Qt memimpikan keindahan,,jk PERSAHABATAN ini terasa lebih indah dari skedar impian...
aQ temukan engkau ketika mataQ meyudut dlm satu si2..melewati tonggak usia higga kini Q bertemu hari yg sama..meski dlm dimensi berbeda aQ memaknainya sbg "perjalanan"...

mari jangkau asa d depan..memburu semua haru biru yg Qt lengkapi..kelam itu tersampaikan,,tergadai waktu..membingkai mimpi kala pagi sekali lg menyapa Qt...membuat Qt percaya akan ada harapan d sana..tuk Qt renungi,,Qt lalui,,Qt banggakan bersama...sebuah perjalanan pencarian jati diri...terlalu berharga tuk Qt lepaskan kini,,n berharap ia tergenggam rapat hgg nti Qt mati...

Elegi "biru" untukmu...

cb kau tengok kmbali..andai kau bs,,apa yg kn kau katakan padaQ,,ketika qt bertatap mata (mngkin),,kmbali bercerita ttg dunia yg terlupa.."dulu" ketika kau msh kerap mnjagaQ,, n kini ketika kau hanya bs memandangQ d kejauhan..menikmati biru yg membeku...

aQ seorang anak yg pernah kau gendong,,lalu sedikit demi sedikit kau ajari menapakkan kaki..hgg kini tanpa kau sadari Q tlh bs berjalan sendiri,,bahkan sering berlari kencang tanpa sedikitpun kau mengerti...
kmn sj langkahQ menjejak,,mngkin sj kau ada di sana,,tp ttp sj sosokmu maya...ckp Q mengerti memang..bila hadirmu tak prnah berupa..hanya setitik cahaya yg kian bersinar..cb menuntunQ d kegelapan,,temukan jln yg ingin Q lalui...sedikit sj kau beri arah agar Q tk tersesat...lantas,,kau menghilang setelah sekian kali kau tk pernah tersenyum,,hgg akhrnya bnr2 tak bs tersenyum (lagi)...

cb katakan padaQ..hal apa yg kau anggap indah,,apa sj yg menurutmu baik,,n bagaimana pula harusnya Q memahamimu...tlong cb katakan padaQ..setidaknya ajarkanQ sedikit bahasa yg benar tuk sekedar bercakap2 dgnmu..sering kau cela perkataanQ bilamana kau merasa ucapanQ terlalu rumit dimengerti..bahkan cenderung kau mengeraskan suaramu..membentakQ dgn merdu...

ya,masih ingtkh kau ketika Qt habiskan mlm2 tanpa bintang..atau sedikit cahaya bulan pun sepertinya meragukan..jelas tak tampak hal "indah" yg kau maksudkan,,karna "dulu"..ya,,sekali lg..dan mngkin kn terus Q bilang "DULU"...matamu ckp isyratkan ksh sayang,,tp terlalu rapuh tuk bs berkata "sayang"...

aQ tw berat bagimu dgn beban yg sudah berat memang...1 anak sepertiQ,yg mungkin jauh sebelum aQ ada tlah kau idam2kn bs menggantikan posisimu kelak..entah apa itu mksudnya,,aQ sadar blm ckp mengerti knp Q blm bs jd spertimu..ataukah memang kau yg terlalu sempurna bagiQ...sungguh mengertikah kau bahwa aQ iri padamu...sampai kini pun tak banyak hal yg bs Q tunjukkan bahwa aQ mewarisi darahmu,,darah seorang pekerja keras..yg Q tw peluh keringat itu tak sdikitpun goyahkan langkahmu..meski kau tw warna dunia begitu suram,,tp terus n selalu kau cb hadirkan pelangi d mataQ...

"DULU" memang aq tak paham,,bahkan mungkin tk peduli..ketika kau bilang smw baik2 sj n senyummu terus terhias d sana..n harusnya aQ paham betul bahwa yg kau mksud adalah sebaliknya...mngkin aQ yg bodoh,,atau memang aQ yg naif tuk berkata "aQ salah"...

sekarang apa kau tw bhwa Q merasa sdh ckp besar tuk menyamaimu..wlo memang Q msh terbiasa dgn manis,,tanpa pernah peduli bahwa hidup jauh lbh pahit dri yg Q kira...klo pun bs,,aQ ingin sekali menyalahkanmu..tw knp???karna Q merasa kau blm ajarkanQ apa2...

sepertinya kontradiktif memang ketika Q blang tlah ckp dewasa tuk melangkah sendiri,tp nyatanya aQ pun msh membutuhkanmu,,meski kau pun tk bs lg menyanggupinya...ya sudahlah,,aQ tw kau sdh mencoba memberikan yg terbaik,,bahkan lebih baik dari yg bs Q dapatkan...mungkin kau tak butuh pujianQ,,bahkan meskipun bila Q blang "Q sangat menyayangimu"...kau pun kn berat hati tuk sekedar tersenyum..karna memang kau ingin tunjukkan padaQ bahwa laki2 tak blh jd lemah karna pujian...

ada sedikit hal yg ingin Q sampaikan padamu,,n Q harap kau benar2 mendengarkannya..mengerti bahwa ini bkn suatu yg mengada2...bs kah kau lihat aQ di sini sekarang,,mencoba menatap fotomu lekat2,,memandangimu lewat secarik kertas..yg Q tw betul wajah itu begitu asing..sudah terlalu lm kau tak menanyakan kbrQ d sini..wlo hanya lewat hembus angin yg membuatQ kedinginan d malam hari, serta lewat terik matahari yg membakar kulitQ siang harinya...atau hujan yg membwtQ basah kuyup..apa bs kau yakinkan aQ bhwa kau msh d sana mengawasiQ...atau tuk sekedar mengusap kepalaQ hgg Q tertidur pulas d dadamu...ataukah memang kau anggap aQ sdh tak pantas berlaku demikian,,jg dirimu yg sengaja membuatQ harus berubah...

kini Q sadari meski hanya sedikit..mengejamu aQ pun tw bhwa dunia terlalu keras untuk ditangisi..aQ percaya bahwa kau pun berpikir demikian..n sekarang ingin Q katakan padamu..anakmu ini tlah cukup dewasa tuk mengerti arti "menyayangi"...lihatlah di sana jk memang kau melihatnya,,Q teriakkn namamu lantang,,tak perlu lg Q pandangi fotomu,,bahkan harusnya Q simpan sj rapat2,,karna Q tw dirimu sll ada d "sini"...

aQ merindukanmu "ayah"...sudah lm sepertinya tk panggil kau demikian..tp cb kau percaya bhwa tiap saat hatiQ berkata demikian..n sungguh Q ingin tuk dpt kau dengar meski dari kejauhan,,bahwa aQ begitu menyayangimu...trima kasih tlah mengajariQ banyak hal...termasuk artinya kehilangan yg membuatQ ckp tegar dlm perpisahan yg tak berujung...

aQ menyayangimu AYAH....

Gadis Kecil...

Gadis kecil...
kmn kau mw pergi ???
ingat,,jalan ini belum kau pahami betul..tunggulah barang sejenak di rumahmu..
setidaknya Q tw kau aman di sana, ada ibu-bapak yg menjagamu..jg adik2mu yg sll berusaha menghiburmu..
tunggulah sejenak lg,,hgg Q tw panas terik ini tk melukaimu,,jg hujan badai yg kn buatmu menggigil di luar sana...

Gadis kecil...
tlonglah kau ingat2 dlu nasihat orang tuamu,,atau mungkin sekedar basa-basi yg tak lebih bijak untuk kau mengerti sendiri..mereka bkn malaikat,,mereka jg bkn peri kecilmu...mereka hanya akan memberimu sedikit hal2 sepele yg mungkin lbh banyak kau abaikan...mereka memang tak punya banyak bekal untukmu di luar sana..dan aQ tw itu berat untukmu,,tp setidaknya aQ pun tw bahwa itu hal terbaik yg pernah mereka beri untukmu..

msh ingatkah kau dlu saat ibu menyapihmu ??? atau mngkin susah sekali tuk kau angan2 sejenak sj bagaiman dl bapakmu menggendongmu ???
tak apa,,aQ mngerti..kau pun tak sampai hati sengaja melupa,,atau tak setega itu pula kau ingin menghapus memori itu...

aQ tw kau msh kecil dulu..dan sekarang bagiQ pun kau msh tampak kecil..lihat sj keluar !! apa yg kau lihat ??? sadarkah kau dunia begitu luas untuk kau hadapi sendiri ??? maka sudilah kiranya sejenak kau tinggal di rumah,,persiapkan bekalmu secukupnya..karna sekali lg Q katakan..mereka tak akn memberimu lbh dari yg mereka bisa...
ayo !!! kau harus mengerti itu,,mngerti dgn caramu sendiri...bkn dri belas kasihan yg kau damba,,bkn pula dari rengekan khas masa kecilmu...aQ paham,,mereka ingin kau berdiri sendiri..
ambil bekalmu dgn lantang !!!

bagaimana,,
sudahkah kau mngerti sdikit perkataanQ ???
oh,maaf..aq tak bermaksud mengguruimu...wlo aQ menganggapmu kecil,tp tak bs jg Q pungkiri bhwa drimu brusaha menampakkan dewasamu...
sudahlah,,jgn kau paksakan..msh banyk waktu sampai bekalmu penuh...
dan Q pastikan lg mereka ttp akan mengawasimu...mngkin mereka sendiri jg sdh agak risih memanjamu..atau hanya sekedar menanyakan perihal keadaanmu..dan kau harus tw bhwa mereka pun tak pernah mengharapkan yg terburuk bwtmu..aQ tw pasti,,mereka hanya ingin percaya bahwa putrinya sedang belajar dewasa...dan kau akan bwt mereka bangga...

tak perlu bingung,,hidup akan memandumu,,dan kau akan tw bahwa tak ada pemandu hidup sehebat dirimu sendiri...tp ingat !!! jgn pernah kau takabur nanti..wlo mngkin hanya sebatas angan2,,tp kami pun ingin kau bs berjalan sendiri di luar sana,, dan pastinya kami berharap betul kau bs melakukannya..oh,tidak..bahkan kami percaya,,sungguh2 percaya !!!

Gadis kecil...
hey,,kau mendengarQ tidak???
apa jls tersampaikan smw ucapanQ td ???
yayaya,,tak apa..aQ tw km lelah..aQ tw kau sdh cukup panjang berjalan sejauh ini..tp tlong kau ingat lg,,perjalannmu ke depan jauh lbh panjang dan tentu akan lbh melelahkan daripada ini...
tp jgn takut !!! mereka,,jg aQ..tak kn membiarkanmu sendirian..setidaknya kami akn menuntunmu membuat pilihan arah tujuan yg baik..sudah pasti kami akan senang membimbingmu kepada langkah awal yg benar...

Gadis kecil...
tlong camkan yg terakhir ini !!!
jika nanti kau tlah benar2 dewasa,,dan kau tlah siap berbekal untuk melakukan perjalananmu sendiri,ingat baik2..kau tak sendirian,,kau punya banyak bekal kasih sayang...itu hal yg penting untuk kau bawa...dan sungguh kami ingin kau mengerti bahwa nanti kau akan bangga pernah jd anak mereka...

Ehm,,
maaf..tak usah terlalu kau hiraukan perkataanQ td..aQ hanya sekedar membaca hidup...aQ tw aq pun sama sepertimu,,sama2 sedang belajar dewasa..aQ senang bs berbagi sdikit hal dgnmu...yach,,tak jauh beda lah dri yg pernah aQ dengar sebelumnya...
sudah ya,,skrang kau tidurlah dulu...kasian bapak-ibumu tak tega meningglkanmu sendiri..mereka ingin kau cpt istirahat,,dan nanti mereka akan menghapus peluhmu sambil terjaga di sampingmu...
ayo,tidurlah !!! biar cpt esok kau lihat mentari bersinar lbh terang dri biasanya dan kau siap memulai hari barumu tanpa ragu sdikitpun...
dan tentu sj aq akan menemanimu membaca kehidupan...^^

PUTERA DAERAH

di persimpangan jalan ke seberang,,

ke arah kiblat kota tujuan...

msh ingatkah kalian ttg cita2 kita???

adakah yg terlupa di pertengahan jalan???



kita semakin dewasa,,semakin sombong dgn angan2..

kealpaan yang tak terelakkan dari sebuah eksistensi..



coba kita renungkan,,bagaimana kita belajar berjalan bersama...

bau khas propaganda yang membius panca indera,,

aroma kapitalis yang kian membumbung tinggi,,

menghujami setiap sudut2 penciuman kita,,

membutakan apa yang tak terungkapkan lewat obsesi2 khas reformasi...



aQ dan kalian semua tahu,,ada apa dengan kampung halaman...

di perantauan ini kita mengadu,,

terkenang masa perjuangan...

hamparan jati dan tembakau di pekarangan kita,,

terciumkah aromanya???



aQ tahu kalian pasti ingat...

di pucuk2 kebanggaan sebagai PUTERA DAERAH...

di setiap penghujung do'a yang terlantun,,

mengerti bahwa ini bukan beban pribadi,,

melainkan janji untuk terus berkontribusi...



melengkapi setiap penindasan,,

menyempurnakan ketidakberdayaan...

bukan kemiskinan dan kebodohan yang kita punya,,

melainkan tekad dan semangat yang membara..



ingat itu kawan !

ingatlah sisa2 perjuangan yang belum terselesaikan...

hingga kau tahu darah kalian adalah perjuangan,,

pikiran kalian adalah pengorbanan,,

dan tindakan kalian adalah pengabdian...



kelak saat kita pulang esok,,

akan ada senyum kebanggaan...



kita lah PUTERA DAERAH...

MERAH PUTIH...

dwi warna tanpa cela,,sudilah tegak padanya antara waktu2 yg tersisa...

tanpa hina,,melainkan hanya isyarat yg lama enggan berkibar...

sejarah mencatatmu sebagai sebuah "eksistensi" kekinian...

mshkah relevan dlam tanda kutip yg tak terbantahkan...

kecuali oleh tatapan nanar mata2 mereka...

dan pula oleh dengus napas2 kealpaan...



sebuah tragedi silam yg nampak olehmu...

dari bilik2 kecil tempat mereka beradu bisu...

senjakala negeri lama yg mencoba berdiri tegak,,

seperti tegaknya lembaran kisah di peraduan...



bangsamu mencatatnya sebagai tonggak kebangkitan...

hidupmu terselubung bau khas tanah surga,,

pun neraka yg menelan pekik MERDEKA !!!



darah juang yg kau dapatkan,,

isak tangis berkepanjangan,,

dan peluh yg terus menetes,,

jd bagian untukmu bersemayam...



di dada kami kau hidup,,

di mata kami kau hidup,,

di tangan kami kau hidup,,

di sekujur tubuh kecil ini kau hidup...



kini kau hadir lg ke hadapanQ...

kau bisikkan sdikit keluhanmu...

jls sudah kau telah berusia senja,,

dan aQ paham betul mengapa kau tak jg bs mengeja bangsamu...



tak apalah bila kau tengah bermuram durja,,

tapi jgn sampai kau acuhkan bulir2 padi yang tlah masak itu..

atau jua kicau burung2 yg snantiasa menyapamu...



kini kau tau,,

andai waktumu msh lm tuk berdiri di sana...

sebutlah bahwa dirimu berbeda...

katakan apa yg tak mereka lihat di atas sana...

hgg mereka tahu,warnamu tetap tegas bicara !!!



MERAH-PUTIH...

riwayatmu kini...

Jumat, 09 Desember 2011

“MENGENAL LEBIH DEKAT KEARIFAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN KAINDEA DI PULAU WANGI-WANGI, KABUPATEN WAKATOBI, SULAWESI TENGGARA”

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara agraris yang subur nan kaya sumber daya alam. Begitu pula dengan potensi hutan yang melimpah dan diperkirakan menempati posisi kedua terbesar di dunia. Luas kawasan hutan tropis Indonesia mencapai 144 juta hektar, atau sekitar 74 % dari luas daratan Indonesia sendiri. Namun demikian, sejak tiga dasa warsa terakhir ini luas kawasan hutan tropis Indonesia semakin berkurang dari tahun ke tahun, karena mengalami degradasi dan deforestasi yang sangat serius akibat eksploitasi besar-besaran. Luas kerusakan hutan tropis Indonesia menurut laporan terkini disinyalir mencapai 1,7 juta hektar per tahun (Departemen Kehutanan, 2000).
Implikasi dari eksploitasi hutan secara tak terkendali di Indonesia, tidak hanya sebatas semakin menipisnya jumlah tegakan kayu yang bernilai ekonomi tinggi untuk pendapatan/devisa negara (economical loss), tetapi juga Indonesia kehilangan kekayaan keanekaragaman hayati (flora dan fauna) dan kerusakan alam (ecological loss), dan lebih dari itu adalah pengabaian/penggusuran hak-hak masyarakat adat/lokal serta marjinalisasi tatanan sosial dan budaya masyarakat (social and cultural loss), yang tidak pernah diperhitungkan sebagai ongkos ekonomi, ekologi, dan ongkos sosial-budaya yang harus dikorbankan untuk pembangunan (cost of development).
Kegiatan pembangunan yang diorientasikan semata-mata untuk mengejar pertumbuhan ekonomi (economic development) harus dibayar sangat mahal dengan penimbulan korban-korban pembangunan (victims of development). Karena selain merusak sumber daya alam dan lingkungan hidup, menguras sumber-sumber kehidupan masyarakat adat/lokal, juga dalam implementasinya telah menggusur hak-hak masyarakat adat/lokal atas penguasaan dan pemanfaatan sumber daya hutan, serta mengabaikan kemajemukan hukum (legal pluralism) yang hidup dan berkembang dalam masyarakat (Nurjaya, 2001).
Isu tentang pentingnya kembali kepada kearifan lokal (local wisdom) dalam pengelolaan sumber daya alam dewasa ini semakin marak dilakukan baik itu di kalangan akademisi, praktisi, hingga masyarakat awam. Hal ini sangat terkait dengan paradigma Pembangunan Berkelanjutan yang disadari akan berdampak secara komprehensif untuk stabilitas negara. Menilik dari peran dan posisi masyarakat adat, pembangunan kini diarahkan untuk dapat mengakomodir kepentingan setiap elemen, termasuk di dalamnya menjaga keberlangsungan hidup masyarakat adat serta melestarikan nilai-nilai kearifan lokal yang ada.


KAJIAN STUDI

Pulau Wangi-Wangi merupakan pulau-pulau kecil dengan luas 152,9 km2 dengan jumlah penduduk 48.083 jiwa (Statistik Wakatobi 2007). Daerah ini memiliki potensi alam serta budaya yang proporsional. Dengan pemahaman alam yang baik, serta kultur yang mendukung dalam pengelolaan sumber daya hutan, masyarakat sekitar konsisten mempertahankan kehidupan harmonis bersama alam yang berorientasi pada fungsi sosial dan ekologis.
Hutan (Motokau) di Pulau Wangi-Wangi terbagi atas dua bagian besar, yaitu Kaindea dan Motika. Nilai-nilai kearifan lokal masih kental dijumpai di beberapa wilayah adat (Kadie). Sebagai contoh adalah dua wilayah adat (Kadie), yaitu di Mandati dan Wanci yang mempunyai hutan adat (Kaindea).
Kaindea adalah hutan yang sengaja dibangun masyarakat selama ratusan tahun. Sistem kepemilikan dan pengelolaannya oleh komunal (adat atau keluarga). Dalam pemanfaatannya tidak dapat dikonversi atau diambil kayu kecuali hasil hutan non-kayu dengan izin selektif pemiliknya. Kaindea merupakan hutan yang sengaja ditanam oleh masyarakat adat sebagai tempat pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat jika terjadi kondisi paceklik, penguatan hubungan sosial dan berfungsi lindung. Solum tanahnya sangat dalam dan berwarna hitam. Awalnya, tanaman di Kaindea adalah pohon seperti kenari, enau, mangga dan bambu, sedangkan tanaman pangan adalah umbi-umbian. Semua Kaindea merupakan milik dan dikelola Sara terutama yang berkaitan dengan fungsi Kaindea agar tetap lestari. Awal abad ke-20, status kepemilikan Kaindea u‘sara sebagian diserahkan ke keluarga menjadi Kaindea u’santuha sebagai balas jasa atas pengabdian kepada masyarakat adat.
Berdasarkan status kepemilikan dan pengelolaan, hutan Kaindea dibagi atas dua, yaitu Kaindea u‘sara (hutan milik adat) dan Kaindea u’santuha (hutan milik keluarga). “Kaindea u‘sara” merupakan bentuk pengelolaan kawasan hutan yang dilakukan oleh adat. Sara melalui perangkat adat akan mengawasi dan mengelola Kaindea sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Kawasan ini saat ini mulai banyak mengalami tekanan khususnya pada Kaindea u’sara di wilayah Adat Wanci. Hal ini disebabkan karena sejak perubahan sistem Sara ke sistem pemerintahan desa perangkat Sara tidak dipakai dan diganti dengan sistem desa. Pada wilayah Adat Mandati, penggantian sistem pemerintahan ke desa tidak menimbulkan masalah dalam pengelolaan Kaindea, karena kepala desa masih turunan Sara (Meantu’u) dan fungsi Meantu’u Agama dijalankan oleh imam mesjid dan khatib merangkap pegawai pencatat perkawinan. Kontrol sumberdaya tetap dijalankan sesuai dengan aturan adat, sedangkan urusan kemasyarakat mengacu kepada aturan desa. Dalam berbagai kasus penyelesaian secara adat oleh kepala desa jauh lebih efektif dibandingkan dengan penyelesaian formal. Walaupun Sara saat ini hanya Sara Agama namun secara secara fungsional memiliki hak mengelola hutan dengan berkoordinasi dengan kepala desa dan keluarga pemangku adat (Santuha). Penegakkan hukum adat umumnya sanksi sosial (moral) atau sanksi yang diberikan oleh pemerintah desa dan Sara Agama.
Pada Kaindea u’santuha pengelolaannya diserahkan kepada komunal atau rumpun keluarga tertentu. Sara memberikan hak tersebut kepada keluarga tertentu yang memiliki jasa penting dalam menyelamatkan negeri atau berperan dalam pembangunan sosial kemasyarakat atau mantan pejabat adat (Yaro). Pemberian kawasan tersebut didasarkan pada hasil keputusan Sara dan merupakan bentuk rasa terima kasih. Ada juga pengalihan kepemilikan karena permintaan suatu keluarga kepada Sara untuk mengolah hasil Kaindea, namun akhirnya diklaim sebagai milik keluarganya. Pada beberapa tempat, masyarakat atau keluarga sangat berhati-hati dalam melakukan pemungutan hasil hutan. Demikian pula menebang atau mengkonversi hutan atau lahan karena dikontrol ketat oleh masyarakat. Dipercaya bahwa kalau ada upaya konversi akan dikenai sangsi sosial dan pada Kaindea u’sara.
Tanaman di Kaindea merupakan tanaman kehutanan yang mempunyai nilai penting untuk kebutuhan hidup masyarakat dan untuk konservasi. Awalnya Kaindea merupakan lahan subur dengan tanaman utama kenari, enau, mangga, bambu. Sekarang berbagai macam vegetasi yang didominasi pohon. Posisi Kaindea berada di tengah atau dikelilingi kebun masyarakat, sehingga fungsi ekologis Kaindea memungkinkan untuk dimanfaatkan dalam rangka kesuburan tanah, ketersediaan air dan penciptaan iklim mikro (Pamoninia u’togo). Antara Kaindea dengan kebun masyarakat di batasi oleh kawasan penyangga yaitu rumpun tanaman bambu dengan jarak sekitar 15 meter, agar kawasan Kaindea tidak dirambah.
Hutan Kaindea merupakan alternatif bagi pemangku adat untuk memenuhi kebutuhan pangan (Sowoa u’sara). Secara ekologi hutan diartikan sebagai media konservasi tanah dan air yang berguna bagi kesuburan lahan sekitar kebun dan sebagai penyedia air terutama pada musim kemarau, serta tempat habitat beberapa burung yang langka (Uranga u’kadadi). Masyarakat Wangi-Wangi, khususnya di Mandati percaya bahwa Kaindea merupakan sarana untuk menegaskan kondisi sosial dan hubungan kekerabatan sehingga harus dijaga. Sebaliknya dengan merosotnya Kaindea akan mengancam kesuburan lahan dan ketersediaan air sehingga merusak sistem ekologi, sosial-ekonomi dan budaya. Pandangan tersebut menyatakan bahwa siapa (individu) yang merusak hutan akan mendapat gelar sosial sebagai ”Mia dhao” (orang rusak).
Dalam Kaindea tidak diperbolehkan menebang kayu kecuali mengambil hasil hutan non-kayu seperti air enau (nira), buah, umbi, rebug bambu atau untuk kebutuhan pangan. Sementara pada penebangan kayu dalam kawasan hutan Motika diperbolehkan atas seizin Sara dan sepanjang hanya memenuhi peraturan yang ditetapkan sebagai berikut : (1) kebutuhan pribadi yang diberikan untuk perangkat penting bangunan rumah atau kapal layar mencari ikan jika mereka adalah orang miskin. Namun izin untuk orang yang tidak mampu dilihat pada jasa dan tingkah lakunya dalam masyarakat. Jika berjasa dan tingkah lakunya baik maka akan dizinkan; (2) kebutuhan umum, seperti pembangunan rumah jabatan, Kamali, Baruga, perahu layar kecil (Londe) dan sebagainya; dan (3) untuk kebutuhan kayu pada upacara adat dan ternyata di hutan Motika tidak tersedia, maka dapat dicarikan di hutan Kaindea atas sepengetahuan Sara Wati untuk disampikan secara berjenjang ke Meantu’u untuk mendapatkan persetujuan.
Sara dapat menentukan zona mana yang manfaatkan dan berapa jumlah pohon sesuai permohonan individu yang berkepentingan dengan pohon tersebut. Jika ada kebutuhan yang mendesak dan yang akan diambil sedikit maka yang bersangkutan harus (1) membunyikan Kalong-kalong (semacam kentongan); dan (2) jika alat tersebut tidak ada disekitarnya maka terlebih dahulu menyimpan topi atau baju atau barang lain yang mudah diidentifikasi. Selanjutnya barang tersebut disimpan di atas kayu setinggi badan yang ditancapkan khusus pada pintu masuk. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka akan diberi sanksi yaitu barang yang diambil akan disita.
Kegiatan mengkonversi Kaindea sama sekali tidak diperkenankan. Semua lahan khususnya dalam wilayah adat di Mandati telah dizonasi peruntukkannya. Untuk kepentingan umum telah dicadangkan hutan Motika untuk diambil hasil kayunya, kecuali pada kepentingan adat yang mendesak, hutan Kaindea dapat diambil kayunya secara sangat terbatas. Sanksi diberikan jika terjadi pelanggaran pada aturan pengelolaan sumberdaya atau pelanggaran etika/norma dalam masyarakat. Sanksi yang diberikan Sara berbeda tergantung pada besar kecil dan substansi pelanggaran tanpa membedakan status sosial dalam masyarakat.






ANALISIS

Melihat kondisi bahwa kemunduran arah pengelolaan hutan hingga menjadikan merosotnya luasan hutan kini sungguh sangat memprihatinkan. Degradasi hutan yang tak terkendali sudah selayaknya mendapat sorotan lebih. Rekonstruksi kebijakan dan strategi pengelolaan yang efektif perlu segera dilaksanakan. Pembenahan yang komprehensif di segala lini harus didukung kemampuan mengkombinasikan tiap fungsi elemen yang vital.
Sajian fakta menarik seputar hutan Kaindea yang erat dengan nilai kultur dan kearifan lokal masyarakat setempat patut kita acungi jempol. Masyarakat adat terbukti mampu memberikan contoh konkrit pelaksanaan pengelolaan hutan yang sustainable. Kehidupan yang harmonis antara alam dan manusia dipraktikkan di sini. Tak hanya mampu meminta, tapi juga memberi. Sungguh mereka telah benar-benar belajar bagaimana hidup bersama alam.
Namun, satu permasalahan yang belum tuntas terselesaikan adalah bahwa pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat adat masih minim. Berbagai polemik muncul terkait kebijakan yang dekonstruktif. Pembangunan yang berorientasi ekonomi semata rentan mengakibatkan perusakan sumber daya hutan. Hal ini tentunya turut mempengaruhi keberadaan masyarakat adat di dalamnya.
Sejatinya masyarakat adat adalah elemen penting dalam pengelolaan hutan lestari. Dengan kearifan lokal dan nilai-nilai budaya yang dimiliki, mereka telah hidup sebagai konservasionis sejati. Pola pemanfaatan lahan dan sumber daya hutan yang ideal harus mampu didukung oleh kesadaran untuk menjaganya, dan masyarakat adat mampu membuktikannya.
Hutan Kaindea merupakan sebagian kecil contoh pengelolaan hutan yang beorientasikan pada nilai-nilai sosial budaya dan ekologi. Indonesia dengan beragam suku budaya tentunya sangat berpotensi dengan fungsi kearifan lokal yang dimiliki masyarakat adat. Dengan tradisi dan pola pengelolaan yang arif, hutan Indonesia akan semakin terjaga kelestariannya.
Kapasitas budaya dalam ranah kehidupan masyarakat adat merupakan modal sosial yang tak ternilai dan wajib diperhitungkan dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Dalam konteks pengelolaan sumber daya hutan, modal sosial dalam wujud etika, religi, kearifan lingkungan, dan norma-norma hukum lokal (folk/customary/ adat law) merupakan kekayaan budaya yang harus diperhitungkan, didayagunakan, dan diakomodasi dalam pembuatan kebijakan dan pembentukan hukum negara (state law) mengenai pengelolaan sumber daya alam.
Dalam konteks ekologi kita tahu bahwa keseimbangan alam saling berkaitan dengan interaksi makhluk hidup, khususnya manusia. Manusia melalui pemahaman alam yang multikultur akan membentuk karakter hidup yang berkesinambungan terhadap lingkungan sekitarnya. Layaknya masyarakat adat yang hidup selaras dengan nilai dan norma yang mereka buat sendiri untuk berdampingan dengan alam tinggalnya.
Meskipun kehidupan masyarakat adat sering tampak tidak rasional, bersifat mistis, dan konvensional, tetapi mereka memiliki kebudayaan yang layak kita telaah maknanya lebih jauh. Faktanya, masyarakat adat tersebut mampu menciptakan sikap dan perilaku manusia yang serba religius dan magis terhadap lingkungannya, dalam bentuk praktik-praktik pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang bijaksana dan bertanggungjawab. Inilah esensi dan ekspresi dari kearifan masyarakat hukum adat terhadap lingkungan hidupnya.
Kearifan lingkungan masyarakat adat pada hakikatnya berpangkal dari sistem nilai dan religi yang dianut dalam komunitasnya. Ajaran agama dan kepercayaan masyarakat lokal menjiwai dan memberi warna serta mempengaruhi citra lingkungannya dalam wujud sikap dan perilaku terhadap lingkungannya. Hakikat yang terkandung di dalamnya adalah memberi tuntunan kepada manusia untuk berperilaku yang serasi dan selaras dengan irama alam semesta, sehingga tercipta keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya.
Esensi ekologis ternyata masih dipertahankan oleh sebagian kecil komunitas adat yang tersebar di berbagai pelosok hutan Indonesia. Dengan segala keterbatasan hidup mereka justru dapat memaknai fungsi alam sebagaimana mestinya. Pembelajaran yang berharga ini tampak dalam contoh praktik pengelolaan hutan kaindea di Pulau Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara oleh masyarakat adat di atas.
Satu pemahaman bersama bahwa keberlanjutan kehidupan masyarakat adat merupakan tanggung jawab kita semua. Pemerintah bersama stake holder perlu mendapat kontrol kritis terkait kebijakan dan aturan perundang-undangan lain yang dilaksanakan. Masyarakat adat selama ini hanya menjadi korban kepentingan sempit. Oleh karena itu perlu dibangun komunikasi efektif dan arah gerak pengelolaan hutan yang ideal untuk menjembatani seluruh kepentingan demi menjaga nilai-nilai kearifan lokal, serta hak-hak masyarakat adat.




DAFTAR PUSTAKA
Abdullah T. 1995. Sejarah Lokal di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Akhmad 2005. Amber dan Komin. Studi Perubahan Ekonomi di Papua. Bigraf Publishing. Yogyakarta. 157 hlm.
Awang SA. 2004. Dekontsruksi Sosial Forestri: Reposisi Masyarakat dan Keadilan Lingkungan. BIGRAF Publishing. Yogyakarta. 193 hlm.
http:// anoa.unhalu.ac.id

Perubahan Itu Nyata

Perubahan Itu Nyata


Seperti terbangun dari mimpi buruk,ketika kita hanya bisa terkejut dan tercengang melihat bumi semakin “menggila” dengan segala amarahnya. Seiring waktu yang terus membutakan kita dengan segala aktivitas tak terkontrol dalam eksploitasi bumi dan isinya secara gradual dan radikal. Sejak beberapa dekade yang lalu, telah dirasakan bentuk-bentuk perubahan yang membumi. Tanda apakah ini ???
Anomali iklim yang serta merta terjadi di seluruh bagian dunia menjadi sorotan hangat di semua kalangan. Histerianya disusul dengan bentuk degradasi spasial terhadap kualitas fisik dan material bumi. Kondisi bumi semakin rentan terhadap kerusakan-kerusakan akibat ulah manusia. Beberapa di antaranya memang kurang terasa sementara sisanya begitu nyata dihadapan kita. Katakanlah seperti bencana banjir dan kekeringan yang selalu menyapa dalam setiap pergantian musim yang tak teratur. Seperti sudah ditakdirkan dari awal, kerusakan bumi pasti tak bisa dihindari.
Bagi sebagian orang, isu perubahan iklim mungkin masih begitu abstrak karena dampaknya hanya terlihat nyata di lingkungan yang terasing dan non kualitatif. Namun bagi negara-negara besar yang notabene sebagai pengguna energi bumi, baik yang berasal dari dalam maupun sumber daya hayati secara eksploitatif, tentunya akan menyadari bagaimana iklim itu menunjukkan perubahannya. Seperti yang dikatakan oleh ahli biologi Camille Parmesan dalam penelitiannya tentang efek perubahan iklim terhadap kehidupan liar di seluruh dunia, bahwa dampak perubahan iklim sudah terasa di setiap benua dan samudra. Tidak ada kawasan yang kebal terhadap perubahan tersebut, bahkan di sejumlah wilayah yang rentan terhadap perubahan iklim mengalami penurunan serta kepunahan sejumlah spesies.
Ada banyak pertanda yang dapat kita cermati dari dampak perubahan iklim ini. Perluasan dan tingginya permukaan air laut sebagai contoh adanya dampak pemanasan global. Dewasa ini dampak global warming semakin terasa oleh efek rumah kaca yang ditimbulkan. Lebih lanjut,bentuk pemanasan ini menjadikan meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi. Emisi CO2 yang melimpah dari gas buang industri, transportasi, maupun bahan bakar fosil menjadi ancaman nyata dengan kontribusinya terhadap dampak pemanasan global ini. Efek rumah kaca membuat panas terakumulasi di bumi dengan sedikit yang bisa terbuang ke atmosfer. Selain itu, deforestasi lahan hutan turut memicu dampak pemanasan global. Potensi hutan sebagai paru-paru dunia semakin berkurang seiring jumlahnya yang terus menipis. Kemampuan hutan menyerap CO2 berlebih dan menetralisir udara oleh produksi O2 tak sehebat dulu lagi. Deforestasi lahan hutan membuat perubahan pada siklus iklim, curah hujan, dan siklus air. Hutan memiliki arti penting dalam menjaga kestabilan lingkungan.
Apa lagi yang kita tunggu? Dampak perubahan iklim dan efek global warming ini sudah begitu nyata dan positif berdampak buruk terhadap kehidupan di dunia. Para pakar iklim telah banyak berpendapat tentang kondisi bumi untuk 1-2 dekade ke depan. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), sebuah lembaga peneliti iklim dari asosiasi pakar ilmu bumi terkemuka pernah memprediksikan kenaikan permukaan air laut sebanyak 18-58 cm di tahun 2100, bahkan bisa mencapai 90 cm atau lebih. Tentu bisa kita bayangkan apa yang terjadi nantinya jika prediksi itu benar terbukti. Samudra Antartika merupakan contoh nyata pemanasan global yang melaju cepat menyusut dan menipiskan bantalan es sejak awal 1990-an. Contoh lain tentunya adalah kondisi kutub yang terus meleleh dan memperluas wilayah lautan.
Masalah perubahan iklim dan global warming ini sudah perlu mendapatkan penanganan yang serius dari semua pihak. Ini bukan lagi sekedar persoalan para peneliti atau lembaga terkait, tapi ini adalah tangung jawab kita bersama. Manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi tentunya akan dimintai pertanggung jawaban atas hasil perbuatannya. Budaya kuldesak yang merajalela, meniadakan lahan hutan atau bentuk lingkungan alami menjadi lahan-lahan pemukiman, industri, serta bentuk infrastruktur lainnya harus dibatasi secara hukum. Sebut saja daerah Kalimantan yang hutannya semakin menyusut akibat pembukaan lahan hutan sebagai sarana transportasi dan sejumlah penambangan serta perkebunan. Dapat dilihat dampak deforestasi yang meluas tanpa dibarengi usaha reklamasi lahan secara tepat dan cepat. Tak ayal jikalau sering kita dapati berbagai bentuk bencana alam yang kerap menimpa wilayah nusantara ini. Dari kondisi iklim musiman yang kita miliki, wilayah nusantara rentan terhadap banjir kala musim penghujan dan kekeringan kala musim kemarau.
Lantas apa yang bisa kita perbuat? Banyak hal bisa kita lakukan untuk sedikitnya mengurangi dampak global warming. Pengurangan emisi gas CO2 dari bahan bakar fosil bisa sedikit direduksi dengan penanaman pohon-pohon penghijaun ataupun bentuk peremajaan hutan. Selain itu penggunaan energi alam lain yang lebih ramah lingkungan sebagai alternatif bahan bakar fosil juga bisa mengurangi emisi karbon, apalagi dibarengi dengan penghematan energi yang efisien. Membudayakan hidup sehat dengan banyak berolahraga dan membatasi penggunaan transpotasi pribadi sebagai satu bentuk aksi nyata yang positif. Mengurangi konsumsi daging yang meningkatkan panas tubuh serta meminimalisir konsumsi plastik dan menggantinya dengan bahan lain semacam kertas. Plastik merupakan bahan yang sukar terdekomposisi dalam tanah, sehingga bisa mencemari tanah dan mengurangi kandungan mineralnya. Akan lebih baik jika kita juga memanfaatkan barang bekas untuk dirubah menjadi barang kerajinan yang lebih bernilai.
Pada umumnya dampak perubahan iklim akan bisa ditekan dengan kesadaran masyarakat untuk menghijaukan kembali bumi,maupun membudayakan hidup bersih dan sehat. Aktivitas alam sebenarnya berjalan menurut banyak faktor, dan itu cenderung mempengaruhi kestabilannya dalam berproses. Namun manusia dengan segala aktivitasnya cenderung over hingga mendesak peran alami lingkungan dalam memperbaiki sistemnya secara terkontrol. Kebebasan mengeksplorasi alam tanpa batasan tertentu memberikan dampak yang besar dari kelangsungan bumi itu sendiri. Para pakar boleh memprediksi dan berargumen tentang masa depan bumi beserta contoh-contoh nyata kerusakannya, tapi di luar itu ada banyak faktor-faktor tak terduga yang bisa membangkitkan “amarah” bumi lebih dari yang diperkirakan sebelumnya. Manusia boleh berkehendak, tapi tentunya ALLAH SWT yang lebih berkuasa untuk menentukan nasib bumi dan manusia ini. Lantas siapkah kita???

SOCIAL FORESTRY SEBAGAI STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN KEKINIAN

SOCIAL FORESTRY SEBAGAI STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN KEKINIAN

Hutan dan manusia merupakan satu kesatuan dalam kehidupan, di mana keduanya merupakan komponen yang tak terpisahkan dalam ekosistem biosfer. Hutan memberikan berbagai sumber kehidupan bagi manusia dan manusia memanfaatkannya untuk menunjang kebutuhan hidupnya. Dengan tipikal geografis dan iklim yang menaunginya, Indonesia menjadi salah satu wilayah tropis nan subur dengan berbagi kekayaan sumber daya hutan. Potensi ini merupakan nilai positif untuk bisa dikembangkan dan dikelola secara efektif dan optimal untuk kesejahteraan rakyat.
Dalam ekologi dikenal bagaimana manusia hidup sinergis dengan alam. Pola pemanfaatan sumber daya hutan yang efektif dan ramah lingkungan merupakan nilai hidup yang dijunjung tinggi. Namun, perkembangan global menuntut dinamika kebutuhan pangan manusia. Luasan hutan yang besar semakin lama tak mampu menyokong besarnya tingkat kebutuhan manusia. Maka dampak yang terlihat adalah berbagai bentuk degradasi lahan hutan dan kerusakan alam akibat ketimpangan kepentingan dan ketidakseimbangan pembagian hasil oleh pemerintah terhadap masyarakat desa hutan.
Banyak langkah yang dikerjakan pemerintah untuk mempertahankan fungsi hutan sebagaimana mestinya. Pola perkembangan sistem kelola hutan mulai dari Timber extraction, timber management, forest resource management, forest ecosystem management, hingga konsep social forestry merupakan dinamika hasil pemikiran dan strategi pengelolaan hutan secara lestari. Namun, orientasi ekonomi yang menjadi patokan awal pengelolaan hutan sudah menjadi momok dalam realitas pelaksanaannya. Oleh karena itu, konsep baru yang diusung merupakan formulasi ideal bagaimana unsur sosial dan ekologi dimasukkan dalam perumusan rancangan kelola hutan kekinian. Dengan kata lain bahwa orientasi ekologis merupakan bentuk dasar kelola hutan yang paling ideal dengan tidak mengesampingkan unsur sosial di dalamnya.
Social Forestry merupakan pola pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Dalam sistem ini masyarakat dilibatkan untuk turut serta membangun hutan secara optimal. Social Forestry merupakan jawaban kegagalan sistem kelola hutan yang telah ada sebelumnya. Elemen masyarakat, terutama yang bermukim di sekitar hutan, diberdayakan peran dan fungsinyasecara optimal untuk menunjang pengeloaan huatan yang lestari.
Masalah sosial-ekonomi masyarakat kini merupakan prasyarat mendasar tercapainya kelestarian pengelolaan hutan. Kepentingan pengelolaan hutan ini mengarahkan kepada sistem kerja yang kompleks. Tak hanya aspek teknis saja yang diprioritaskan, tetapi juga aspek sosial yang produktif. Konsep ini lantas melahirkan sistem kerja yang mengacu pada aspek sosio-teknis. Bagaimanapun juga, teknik silvikultur yang baik belum menjamin terciptanya kualitas tegakan yang baik tanpa ada jaminan perlindungan dan keamanan oleh masyarakat desa hutan.


Pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) merupakan salah satu implementasi konsep Social Forestry, di mana tujuan pengelolaan ini berlaku untuk jangka panjang. Social forestry ini merupakan suatu alat pendekatan bagaimana kita bisa menyelesaikan konflik-konflik yang ada di daerah, pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat sekitar hutan, serta terjangkaunya semua kepentingan. Termasuk dalam hal ini adalah masyarakat adat, mengingat hal ini penting karena dalam UU No. 41/99 diatur bagaimana kita bisa memberdayakan masyarakat adat. Diakomodasikan kepentingan-kepentingan masyarakat adat dan bagaimana kita mengaplikasikan prinsip asas-asas social forestry ini ke dalam masyarakat adat.
Salah satu penyebab illegal logging oleh masyarakat adalah tidak tersedianya alternative sumber ekonomi yang memadai. Didasarkan pada kebutuhan hidup yang sulit terpenuhi, kegiatan negatif ini dilakukan karena terpaksa. Perimbangan kebutuhan yang tak sesuai dan cenderung paradox ini telah memicu banyaknya aktivitas perusakan sumber daya hutan. Konflik social yang terjadi tanpa kendali yang jelas akan berdampak lebih pada kemandegan structural organisasi pengelola hutan.
Kegiatan social forestry tidak terbatas di dalam hutan, melainkan seluruh upaya untuk membuat masyarakat sekitar hutan berdaya, sehingga mampu menjaga kelestarian hutannya. Hal tersebut misalnya dapat dilakukan dengan memfasilitasi terbangunnya unit-unit usaha kecil dan menengah (UKM) yang dapat digunakan sebagai alternatif pencaharian atau mata pencaharian yang tidak merusak bagi masyarakat yang selama ini hidupnya hanya tergantung dari sumberdaya hutan.
Kelembagaan dalam social forestry diperlukan untuk stabilisasi sistem kelola hutan. Dalam hutan rakyat contohnya, dibentuk Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) atau kelompok-kelompok tani sebagai pengelola teknis lahan hutan. Hutan rakyat sendiri dibangun atas tanah milik atau yang diserahkan pengelolaannya melalui kontrak tahunan. Pelaksanaannya biasanya menganut system tumpang sari, di mana masyarakat berhaka menanam tanaman pertanian di sela-sela tanaman pokok kehutanan. Model pengelolaan ini diharapkan mampu menjembatani masing-masing kepentingan, sehinga tercipta suasana yang harmonis antar banyak pihak.
Ada lima prinsip yang perlu ditekankan dalam pengembangan social forestry, yaitu membangun kapasitas masyarakat untuk berproduksi, memperkuat kapasitas dan kelembagaan masyarakat, membangun jaringan pemasaran baik untuk produk hutan atau non-hutan, meningkatkan nilai tambah produksi melalui pembangunan home-industri, dan peningkatan akses kredit perbankan. Masalah sosial-ekonomi masyarakat menjadi kunci utama terjaminya kelestarian hutan, dengan demikian social forestry perlu dijabarkan secara lebih leluasa, yang meliputi seluruh upaya pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan karena social foresty adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat, bukan sekedar pengusahaan hutan oleh masyarakat. Jadi jelas bahwa social forestry perlu diterapkan dalam strategi pengelolaan hutan kekinian agar terciptanya hutan yang lestari.

Urgensi Masyarakat dan Kearifan Lokal dalam Konteks Pengelolaan Hutan Lestari

Urgensi Masyarakat dan Kearifan Lokal dalam Konteks Pengelolaan Hutan Lestari


Indonesia merupakan negara agraris yang subur nan kaya sumber daya alam. Begitu pula dengan potensi hutan yang melimpah dan diperkirakan menempati posisi kedua terbesar di dunia. Luas kawasan hutan tropis Indonesia mencapai 144 juta hektar, atau sekitar 74 % dari luas daratan Indonesia sendiri. Namun demikian, sejak tiga dasa warsa terakhir ini luas kawasan hutan tropis Indonesia semakin berkurang dari tahun ke tahun, karena mengalami degradasi dan deforestasi yang sangat serius akibat eksploitasi besar-besaran. Luas kerusakan hutan tropis Indonesia menurut laporan terkini disinyalir mencapai 1,7 juta hektar per tahun (Departemen Kehutanan, 2000).
Implikasi dari eksploitasi hutan secara tak terkendali di Indonesia, tidak hanya sebatas semakin menipisnya jumlah tegakan kayu yang bernilai ekonomi tinggi untuk pendapatan/devisa negara (economical loss), tetapi juga Indonesia kehilangan kekayaan keanekaragaman hayati (flora dan fauna) dan kerusakan alam (ecological loss), dan lebih dari itu adalah pengabaian/penggusuran hak-hak masyarakat adat/lokal serta marjinalisasi tatanan sosial dan budaya masyarakat (social and cultural loss), yang tidak pernah diperhitungkan sebagai ongkos ekonomi, ekologi, dan ongkos sosial-budaya yang harus dikorbankan untuk pembangunan.
Kegiatan pembangunan yang diorientasikan semata-mata untuk mengejar pertumbuhan ekonomi harus dibayar sangat mahal dengan penimbulan korban-korban pembangunan. Karena selain merusak sumber daya alam dan lingkungan hidup, menguras sumber-sumber kehidupan masyarakat desa hutan (lokal), juga dalam implementasinya telah menggusur hak-hak masyarakat lokal atas penguasaan dan pemanfaatan sumber daya hutan, serta mengabaikan kemajemukan hukum (legal pluralism) yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Isu tentang pentingnya kembali kepada kearifan lokal (local wisdom) dalam pengelolaan sumber daya alam dewasa ini semakin marak dilakukan baik itu di kalangan akademisi, praktisi, hingga masyarakat awam. Hal ini sangat terkait dengan paradigma Pembangunan Berkelanjutan yang disadari akan berdampak secara komprehensif untuk stabilitas negara. Menilik dari peran dan posisi masyarakat lokal, pembangunan kini diarahkan untuk dapat mengakomodir kepentingan setiap elemen, termasuk di dalamnya menjaga keberlangsungan hidup masyarakat adat serta melestarikan nilai-nilai kearifan lokal yang ada.
Fakta kemunduran arah pengelolaan hutan kini sungguh sangat memprihatinkan. Degradasi hutan yang tak terkendali sudah menjadi isu yang tak habis dibahas. Sajian fakta menarik seputar kondisi hutan kekinian yang kian luntur dari nilai kultur dan kearifan lokal masyarakat setempat patut kita kritisi bersama. Rekonstruksi kebijakan dan strategi pengelolaan yang efektif perlu segera dilaksanakan. Pembenahan yang komprehensif di segala lini harus didukung kemampuan mengkombinasikan tiap fungsi elemen yang vital.
Masyarakat lokal sebagai kaum akar rumput sejatinya adalah aktor utama pengelolaan hutan yang sustainable. Namun, satu permasalahan yang belum tuntas terselesaikan adalah bahwa pengakuan terhadap hak-hak masyarakat lokal masih minim. Kesenjangan sosial kian memperbesar jarak mereka atas hak peningkatan taraf hidup. Partisipasi yang minim dari masyarakat sebagai akibat pola pengelolaan hutan yang top down cenderung memperlemah posisi masyarakat lokal serta memperburuk kondisi hutan.
Berbagai polemik muncul terkait kebijakan yang dekonstruktif. Pembangunan yang berorientasi ekonomi semata rentan mengakibatkan perusakan sumber daya hutan. Hal ini tentunya turut mempengaruhi keberadaan masyarakat lokal di sekitarnya. Sama halnya ketika kita melihat hutan di Bojonegoro sebagai contoh kecil praktik pengelolaan hutan yang kurang efektif. Perhutani sebagai stakeholder utama belum mampu mengoptimalkan peran dan fungsi masyarakat lokal secara maksimal. Akibatnya, keterbatasan pemahaman dan minimnya persepsi positif terlanjur mengakar budaya pada sikap perilaku masyarakat kekinian. Bagaimanapun juga masyarakat harus dilibatkan secara aktif dalam praktik pengelolaan hutan yang lestari.
Sejatinya masyarakat lokal adalah elemen penting dalam pengelolaan hutan lestari. Dengan kearifan lokal dan nilai-nilai budaya yang dimiliki, mereka telah hidup sebagai konservasionis sejati. Pola pemanfaatan lahan dan sumber daya hutan yang ideal harus mampu didukung oleh kesadaran untuk menjaga, serta mengoptimalkan setiap elemen yang terlibat di dalamnya. Masyarakat berhak menyampaikan aspirasi dan dilibatkan secara aktif dalam mengontrol kinerja pemerintah. Strategi bottom up yang mengakomodir peran serta masyarakat perlu diaplikasikan dalam konteks pengelolaan hutan lestari.
Hutan rakyat merupakan sebagian kecil contoh pengelolaan hutan yang mampu mengakomodir setiap kepentingan. Bentuk pengelolaannya beorientasikan pada nilai-nilai sosial budaya dan ekologi yang mengakar kuat pada kehidupan masyarakat desa hutan. Indonesia dengan beragam suku budaya tentunya sangat berpotensi dengan fungsi kearifan lokal yang dimiliki masyarakat desa hutan, termasuk yang ada di Bojonegoro contohnya. Potensi jati yang begitu melimpah dan strategis sebagai komoditas yang tak ternilai di Bojonegoro sudah selayaknya dimanfaatkan dan dikelola oleh, dari, dan bagi masyarakat. Bojonegoro dan daerah-daerah lain di Indonesia patut berbenah. Pemerintah dan para -stakeholder punya andil besar untuk merepresentasikan kepentingan masyarakat agar terciptanya kesejahteraan dan kemakmuran.
Kapasitas budaya dalam ranah kehidupan masyarakat desa hutan merupakan modal sosial yang tak ternilai dan wajib diperhitungkan dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Dalam konteks pengelolaan sumber daya hutan, modal sosial dalam wujud etika, religi, kearifan lingkungan, dan norma-norma hukum lokal merupakan kekayaan budaya yang harus diperhitungkan, didayagunakan, dan diakomodasi dalam pembuatan kebijakan dan pembentukan hukum negara (state law) mengenai pengelolaan sumber daya alam.
Keseimbangan alam saling berkaitan dengan interaksi makhluk hidup, khususnya manusia. Manusia melalui pemahaman alam yang multikultur akan membentuk karakter hidup yang berkesinambungan terhadap lingkungan sekitarnya. Masyarakat lokal dengan segala nilai dan norma senantiasa menjaga substansi kulturalnya dengan alam. Esensi ekologis pengelolaan hutan dewasa ini masih dipertahankan oleh sebagian kecil komunitas lokal yang termarginalkan. Dengan segala keterbatasan hidup, komunitas minoritas ini berusaha mengaktualisasikan hidupnya untuk kelestarian hutan. Namun sayang, belum banyak pihak yang mengapresiasi prestasi luar biasa ini sebagai suatu kebanggaan serta capaian yang positif. Padahal masyarakat lokal merupakan garda depan penyelamat hutan jika peran dan fungsinya dapat disinergikan oleh para pemangku kebijakan.
Pemerintah bersama para stakeholder seharusnya lebih memperhatikan potensi masyarakat lokal. Unsur-unsur sosial ekologi kini bukan sekedar kebutuhan sampingan yang pragmatis, tapi meupakan titik tolak tercapainya kelestarian hutan. Paradigma social forestry yang gencar dipublikasikan harus mampu diimplementasikan secara masif. Pemerintah perlu mendapat kontrol kritis terkait kebijakan dan aturan perundang-undangan lain yang dilaksanakan selama ini. Masyarakat lokal selama ini hanya menjadi korban kepentingan sempit. Oleh karena itu perlu dibangun komunikasi efektif dan arah gerak pengelolaan hutan yang ideal untuk menjembatani seluruh kepentingan demi menjaga nilai-nilai kearifan lokal, serta hak-hak masyarakat. Dengan begitu, wajah hutan yang lestari bukan hanya sekedar mimpi belaka, tapi dapat direalisasikan secara komprehensif demi tercapainya kesejahteraan masyarakat.

Melihat Lebih Dekat Wajah Pendidikan Bangsa

Melihat Lebih Dekat Wajah Pendidikan Bangsa

Indonesia, sebuah negeri dengan sejuta budaya dan adat istiadat. Sebuah bangsa yang lahir dari ketertindasan, kebodohan yang lantas menjelma menjadi momok menakutkan sepanjang era perubahan zaman. Indonesia dengan ilham sejuta bakat dan potensi terpendam, termasuk dilematika proses mendidik dan terdidik yang tersemat dalam tubuh Pendidikan Indonesia.
Kita sangat mengenal apa yang biasa kita sebut “Pendidikan”. Pendidikan sejatinya bermakna tuntunan, ajaran yang baik untuk menjaga dan mengarahkan anak didik kepada manfaat yang diinginkan. Pendidikan merupakan upaya perbaikan sikap dan perilaku manusia menuju kepribadian yang istimewa. Tentunya kita paham apa makna istimewa yang dimaksudkan. Istimewa menyatakan ukuran nilai yang logis dan penuh kebaikan. Sebagaimana manusia belajar memaknai hidup dan terus berkembang mengiringi perubahan dunia.
Seorang tokoh pendidikan legendaris, salah satu anak negeri yang membanggakan, Ki Hajar Dewantara, sempat memberikan setitik cahaya untuk pendidikan bangsa. Bapak pendidikan kita ini adalah contoh suri teladan yang baik untuk kita lanjutkan perjuangannya. Beliau mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.
Bukan hal yang mengherankan tatkala kita mencoba memeras otak, memacu detak jantung, bahkan membanting raga demi arti sebuah pendidikan. Pendidikan dinilai sebagai suatu harta yang kekal lantaran di dalamnya terdapat suatu transfer ilmu dan pengalaman luar biasa yang tak kan habis terkikis zaman. Dengan pendidikan orang akan memperoleh derajat lebih, sebagaimana telah diwahyukan pula oleh Sang Pencipta melalui sumber ilmu yang hakiki, yakni Al-Qur’an. Karna ilmu ibarat sebuah kapal yang membawa kita mengarungi samudra kehidupan yang penuh problematika.
Layaknya manusia yang dibekali akal, rasa, dan pikiran untuk menjadi khalifah di muka bumi ini, maka manusia pantas mendapatkan derajat tertinggi sebagai makhluk ciptaan ALLAH SWT yang paling sempurna. Secara psikologis manusia mempunyai perasaan ingin tahu dan jiwa-jiwa yang bebas menginterpretasikan setiap hasrat dan keinginannya. Oleh karena itu penting bagi manusia memperoleh pengajaran yang tepat sebagai bekal kehidupan yang lebih baik.
Pendidikan hakikatnya adalah alat untuk mencari jalan kesempurnaan hidup, di mana substansinya dapat “memanusiakan manusia”. Tentu tujuan hidup yang ideal tak hanya dicapai dengan bekal jiwa-raga semata tanpa dibarengi dengan “senjata” yang tepat, yakni ilmu yang kita peroleh dari bangku pendidikan.
Namun, realitanya pendidikan saat ini sudah berada dalam kondisi memprihatinkan. Bagaimana tidak, ketika kita berbicara soal pendidikan, akan terbayang dalam benak kita jutaan anak putus sekolah, bangunan-bangunan reyot yang tak layak disebut sekolah, nasib para guru yang jauh lebih menyedihkan dari kuli, atau masih banyak realita lain yang tak beda jauh keadaannya. Sepertinya harapan telah memanjakan kita dengan buaian-buaian mimpi yang muluk, tetapi tidak disokong dengan implementasi sikap dan usaha yang seimbang, sehingga dilematika pendidikan kian bertambah.
Sebuah catatan besar menyatakan bagaimana bangsa kita cukup sempoyongan menuntun arah gerak pendidikan yang ideal. Berbagai ramuan antara ide-ide, ilmu, pengalaman, kebijakan, maupun kepentingan sempit mewarnai perhelatan akbar pendidikan negeri ini. Masih disayangkan manakala yang tampak justru banyaknya problematika dan kemunduran sistem. Karut marut dunia pendidikan menambah daftar merosotnya kualitas SDM yang kita punya. Bagaikan kehilangan arah, pendidikan tak lagi punya goal yang jelas menyikapi berbagai pressure dan persoalan moral bangsa ini.
Pendidikan pada dasarnya mencakup dua aspek penting, yakni aspek kognitif (pikiran) dan aspek afektif (perasaan), di samping aspek motorik sebagai komplemen. Namun sejauh ini sepertinya aspek kognitif selalu lebih dominan dibandingkan aspek afektif. Padahal keduanya harus berjalan seimbang dan saling berkomplemen. Kedua aspek ini sejatinya terus beriringan memberikan warna positif dalam dunia pendidikan, di mana energi-energi yang timbul mampu mencerahkan kehidupan manusia itu sendiri. Sebagai contoh ketika kita belajar sesuatu, maka tak hanya proses berpikir yang kita lakukan, tapi juga perasaan yang menyuplai emosi positif seperti semangat dan perasaan senang.
Pernahkah kita menyadari apa sebenarnya yang salah hingga menyebabkan pincangnya langkah pendidikan saat ini ? Salah satunya adalah kesalahan dalam sistem pendidikan. Bangsa ini sepertinya telah lupa bagaimana dulu pancasila disusun sebagai ideologi dan kepribadian bangsa. Bukan bangsa “bejat” dan amoral yang kita harapkan, tetapi bangsa yang bermartabat dengan berlandaskan nilai-nilai pancasila. Pendidikan kita agaknya telah mengesampingkan aspek afektif ini untuk sekedar mengejar deretan angka-angka kognitif yang semu. Padahal aspek afektif tersebut mampu membentengi sikap-sikap negatif yang dapat timbul setiap saat. Saya pikir kita tidak hanya ingin terlahir sebagai generasi berotak yang tidak bermoral.
Pada dasarnya karakter bangsa dibentuk oleh karakter masyarakatnya, maka tak disangsikan jika akhirnya berbagai polemik muncul menyusul rusaknya moral-moral generasi saat ini. Sistem pendidikan terdahulu lah yang telah salah mendidik anak-anak kita hingga akhirnya menjadi bumerang bagi bangsa kita sendiri. Dampaknya secara komprehensif berpengaruh terhadap bidang-bidang non pendidikan yang notabene dijalankan oleh manusia-manusia hasil didikan sistem yang lama. Jelas sudah kenapa bangsa ini semakin padat dengan manusia-manusia “bejat” yang tak cukup potensial pada aspek afektif mereka. Sialnya lagi, sebagian besar dari mereka lah yang sekarang menghuni kursi-kursi penting nan panas sebagai orang-orang berdasi, orang-orang elit. Sungguh dilematis !!!
Mari sejenak kita cermati ke belakang, cerita lama yang telah usang termakan arus globalisasi atau budaya kuldesak yang terus menggerogoti jati diri bangsa ini. Ibarat sebuah rumah, bangsa ini merupakan keluarga besar yang terus berkembang. Sebuah keluarga besar yang punya banyak impian tinggi, hingga menembus batas akal rasional kita. Namun, kenyataannya kita sering terjerumus dalam mimpi-mimpi yang kita susun sendiri. Jatuh tersungkur hingga tak mampu bangkit lagi untuk kesekian kali. Pantaslah kita menghela napas, mengelus dada sembari memainkan otak dan hati kita untuk terus mencerna. Apa sebenarnya yang terjadi ???
Jutaan penduduk Indonesia dengan segala macam latar belakang suku budaya, agama, ras dan bahasa, serta identitas diri yang berwarna tak hanya berpotensi untuk menjadi suatu kebanggaan, tapi juga kelemahan. Potensi yang begitu melimpah dari segi kuantitas ternyata belum menunjukkan tanda-tanda perubahan yang signifikan dan sinkron dengan kualitasnya. Beragam problematika menjadikan pendidikan sebagai momok yang menakutkan, layaknya beban yang begitu berat untuk dipikul sekian lama. Hal ini cenderung dikaitkan dengan stabilitas bangsa yang terus memburuk, hingga memperbesar celah-celah kekurangan bangsa ini. Padahal sejatinya pendidikan itu sendiri lah obatnya.
Sejak merdeka tampaknya bangsa ini belum mampu berbenah dengan benar. Tentu saya yakin salah satunya adalah kesalahan sistem pendidikan seperti yang telah saya sebutkan di atas. Di samping itu kita tahu betul bahwa arah kebijakan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara guna mendukung ketertiban dunia layaknya tercantum dalam tujuan negara Indonesia. Dalam UU No.23 tahun 2003 dan UUD 1945 juga telah diatur bagaimana suatu kerangka sistem pendidikan nasional yang efektif untuk mencapai cita-cita mulia bangsa. Suatu pendidikan yang memberikan manfaat secara berkesinambungan sebagai fondasi moral dan membentengi setiap masyarakat Indonesia dengan budi pekerti yang luhur. Di dalamnya mencakup pengembangan moral, ilmu, dan kultur pancasila yang demokratis dan berkeadilan demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat.
Namun dewasa ini tampaknya karut marut sistem pendidikan bangsa kian menjadi-jadi. Kenyataan menunjukkan bahwa kesalahan sistem pendidikan bangsa ini adalah cenderung top-down atau dari atas ke bawah. Inilah akar permasalahan yang mesti dipecahkan mengingat metode ini hanya menjadikan anak didik sebagai obyek pasif. Guru hanya sekedar mentransfer ilmu kepada anak didik, dan sebaliknya anak didik hanya diam mendengarkan dengan segala keterbatasan ruang untuk aktif berdiskusi. Hal ini bukanlah metode yang tepat karena seolah-olah Guru ibarat dewa yang tahu segalanya dan murid hanyalah konsumen yang siap menampung segala hal yang ia terima tanpa menelaah lebih jauh apa yang bisa mereka perbuat dengan ilmu dan potensi dirinya.
Bangsa ini tak cukup mampu menyingkronkan antara kuantitas dan kualitas. Pantaslah jika Indonesia jauh tertinggal dengan negara-negara maju di dunia. Potensi SDM yang melimpah hanya sekedar tenaga kasar yang tidak cukup mampu bersaing dengan ilmunya. Konsekuensi logis dalam hal ini bisa diibaratkan bahwa kita sebenarnya masih “terjajah”. Bukan hanya atas kekuatan bangsa lain, tetapi justru kita terinjak-injak dengan kelemahan kita sendiri. Sungguh disayangkan kenapa bangsa yang kaya sumberdaya alam ini justru menjadi budak di negeri sendiri. Jelas sudah mutu pendidikan bangsa ini masih relatif rendah.
Rendahnya mutu pendidikan ini salah satunya dipengaruhi oleh rendahnya grade profesi guru. Guru masih dianggap sebagai profesi yang biasa. Padahal jika kita menilik ke negara-negara maju, profesi guru sangat proporsional, punya gengsi tinggi untuk memperoleh kebanggaan sebagai guru. Namun di negara kita, profesi ini masih kalah bersaing dengan profesi lain. Terbukti dengan makin rendahnya minat para lulusan sekolah menengah untuk mengambil studi keguruan semacam ini. Padahal peran guru sejatinya sangat menentukan masa depan pendidikan bangsa. Jika saja kita paham bahwa seorang guru adalah pejuang sejati. Mereka seperti rajurit yang berperang melawan penjajahan, keterpurukan, kebodohan dan kemiskinan bangsa. Guru laksana oase di tengah padang pasir. Setiap apa yang mereka perbuat adalah kebaikan. Namun halini mesti didukung pula oleh penghargaan da perhatian yang sebanding. Apakah memang guru hanya bisa memperoleh gelar pahlawan tanpa tanda jasa ???
Efektivitas pengajaran oleh tenaga didik yang berkompeten dan berkualitas dapat mendongkrak perbaikan mutu pendidikan nasional. Namun sepertinya para tenaga didik ini masih belum mendapatkan penghargaan yang layak, baik dari segi ekonomi, sosial, maupun kariernya. Pemerintah masih belum paham betul fungsi guru sebagai agent of change. Jadi bukan hanya anak didik yang berperan, tapi guru lah sebenarnya yang bertugas membentuk karakter tersebut. Karut marut ini tak lantas menjadi topik bahasan utama pemerintah. Bahkan penanganannya pun cenderung lambat. Sebagai contoh, sampai saat ini pemerintah hanya mempersoalkan masalah nilai standar kelulusan. Padahal sebenarnya persoalan utama adalah terkait sistem pendidikan yang buruk, di samping citra guru yang rendah di mata masyarakat.
Di samping persoalan efektivitas pendidikan, efisiensi sistem juga berpengaruh dalam mutu pendidikan nasional. Bagaimana segenap elemen pendidikan mampu meramu konsep secara tepat. Bukan sekedar hasil yang harus dicapai, tapi proses pencapaian itulah sebenarnya poin penting yang harus diperhatikan. Hasil yang baik akan lebih baik jika diiringi proses yang baik pula. Tidak ada salahnya belajar dari mereka yang telah berhasil menjadikan pendidikan sebagai prestasi bangsa yang membanggakan. Perlu koreksi besar terkait segala problematika yang ada, lantas diimplementasikan dalam upaya kritis memperbaiki kondisi pendidikan bangsa.
Lantas jika pertanyakan kembali, apakah standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum ? Dalam contoh kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya. Evaluasi pendidikan dalam tahun akhir pembelajaran semacam itu kurang representatif mengingat lulus tidaknya anak didik hanya ditentukan oleh beberapa jam dalam beberapa hari dan beberapa mata pelajaran yang diujikan. Bagaimana bisa proses pendidikan selama beberapa tahun sebelumnya hanya dijadikan sebagai formalitas semata. Standar pendidikan ini tentu masih jauh dari sempurna dibandingkan kompetitor lain di dunia luar. Jangan sampai ekspektasi ini jadi bumerang untuk pendidikan bangsa kita sendiri.
Fakta lain mengungkapkan bahwa Indonesia masih terbelit dengan persoalan biaya pendidikan. Banyak generasi bangsa yang gagal mengenyam nikmatnya pendidikan karna sebab ini. Alokasi dana bantuan pendidikan belum mampu mengakomodir semua kebutuhan pendidikan bangsa. Harga yang harus dibayar untuk sebuah paket pendidikan sangat sulit terjangkau golongan akar rumput. Ini cambukan keras untuk pemerintah bagaimana mereka dapat berupaya mengimplementasikan substansi UUD 1945 dan pancasila dalam perbaikan sistem yang bobrok. Maraknya KKN oleh sebagian stakeholder lantas memangkas hak-hak anak-anak yang putus sekolah. Dan parahnya problem ini masih dikesampingkan dan dianggap suatu hal yang biasa. Pantasnya kita sadar bahwa pendidikan sangat penting bagi generasi muda.
Pendidikan sejatinya merupakan tanggung jawab bersama. Setiap elemen punya peran vital dalam memajukan pendidikan nasional. Satu pemahaman bersama bahwa pendidikan adalah suatu hal berharga yang menjadi kebutuhan setiap orang. Banyak yang bisa kita peroleh atas pendidikan dan tak cukup orang-orang tertentu saja yang menaruh perhatian terhadap kemajuan pendidikan bangsa ini, tetapi keseluruhan dari kita ikut andil di dalamnya. Tentu ini suatu hal positif yang menjadi orientasi mengapa setiap orang perlu belajar untuk mendidik dan terdidik.
Ada banyak hal yang bisa kita cermati kenapa akhirnya bangsa ini belum mampu memperoleh prestasi membanggakan dalam dunia pendidikan. Mutu pendidikan di negeri ini memang perlu ditingkatkan terkait banyaknya faktor yang melandasi gagalnya optimasi arah gerak pendidikan nasional. Tingginya angka kemiskinan menjadi sorotan utama kurangnya accesment terhadap kebutuhan pendidikan untuk kalangan menengah ke bawah. Bukankah negara seharusnya menjamin setiap hak rakyat untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran secara berkeadilan ? Padahal masyarakat adalah elemen penting dalam roda pemerintahan. Pemerintah melalui lembaga yang representatif sepatutnya mampu mengiringi perubahan yang signifikan dalam dinamika masyarakat, khususnya untuk pemerataan pendidikan bagi kaum-kaum pingiran atau akar rumput.
Agaknya telah timbul gap yang cukup besar antara lapisan masyarakat. Kini layaknya pendidikan dinilai dengan uang. Akar rumput seperti tak berhak memperoleh hak berpendidikan tinggi. Sedangkan golongan yang “mampu” pun celakanya semakin terbuai dengan pendidikannya. Mereka tak dapat menggunakan statusnya sebagai orang yang terdidik dan berintelektual untuk membantu memperjuangkan nasib rakyat kecil yang makin dahaga akan hidup yang layak. Kalaupun ada itu hanya sebagian kecil dan belum tampak upaya konkrit yang ideal untuk menjembatani problematika tersebut.
Siapa sebenarnya pelaku utama dalam pendidikan ? Tentu “mereka” yang berjuang demi kemajuan pendidikan itu sendiri. Pelajar, orang tua, guru, masyarakat, dan pemerintah adalah komponen subyek sekaligus obyek vital dalam pendidikan. Mengapa mereka saya sebut subyek maupun obyek? Jelas karena pendidikan itu dilaksanakan dari mereka, oleh mereka, dan untuk mereka sendiri. Inilah alasan mengapa pendidikan harus dilaksanakan secara berkeadilan dan demokratis, serta berilham pada nilai-nilai Pancasila.
Masyarakat dapat mempengaruhi arah gerak pendidikan. Dengan kebersamaan yang dibangun, masyarakat mampu ikut berkontribusi dalam roda pendidikan bangsa. Baik dana ataupun hanya sekedar pemikiran dan tenaga sudah cukup membantu membentuk kultur pendidikan yang harmonis. Sekolah pun dapat saling menyokong kultur masyarakat dengan menciptakan kurikulum pengajaran aplikatif yang membuat masyrakat cukup interest . Selanjutnya adalah bagaimana memberdayakan masyarakat melalui sarana yang tepat karena hal itu berarti juga merubah cara pandang masyarakat terhadap kultur pendidikan. Langkah yang selaras dengan sistem, atribut, maupun tiap fungsi elemen pendidikan sangat dibutuhkan.
Pelajar atau anak didik kita merupakan aset bangsa yang berharga, layaknya intan berlian yang sungguh tak ternilai harganya setelah digosok dengan cara yang benar. Lantas kemudian saya menyebut pelaku pendidikan lainnya sebagai “alat” untuk menjadikan bongkahan batu biasa tersebut menjadi intan berlian yang berkilau. Inilah tantangan yang harus dipecahkan, bagaimana setiap orang menganggap bahwa pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang vital untuk diperoleh.
Orang tua dan masyarakat dapat terlibat aktif dalam pengawasan pendidikan anak-anak mereka. Orang tua memberikan pengajaran dan pendidikan akhlak sejak dini di lingkungan keluarga (internal), sedangkan masyarakat berperan di lingkungan luarnya (eksternal). Tidak cukup hanya mengandalkan tenaga pengajar resmi di sekolah untuk membentuk kepribadian yang bermoral, tapi setiap elemen harus mampu menyuplai rangsangan-rangsangan positif untuk anak didik. Baik pendidikan formal maupun non formal adalah sama penting, manakala kita berbicara tentang substansi pendidikan itu sendiri. Pendidikan formal identik dengan sekolah, sedangkan pendidikan non formal bisa didaptkan lewat pesantren atau semacamnya. Keduanya dapat berimprovisasi dengan cara pembelajaran yang solutif dengan dukungan media yang representatif, baik cetak maupun elektronik.
Pemerintah melalui Dewan perwakilan Rakyat ataupun Kementrian Pendidikan Nasional diharapkan mampu menjawab setiap tantangan perkembangan dunia pendidikan. Dinamika sistem yang begitu fluktuatif harus dapat diimbangi dengan penerapan kebijakan yang tepat. Di sini lah pentingnya komunikasi efektif antar banyak pihak, sehingga menciptakan iklim pendidikan yang kondusif. Sudah banyak evaluasi yang dilakukan terkait penerapan arah kebijakan pendidikan nasional, tapi hasilnya hanya menguap begitu saja tanpa dibarengi upaya konkrit yang jelas.
Selain persoalan sistem pendidikan, citra guru dan arah kebijakan tersebut, perbaikan moral anak didik juga perlu menjadi sorotan utama. Pasalnya saat ini marak kita dengar maupun kita lihat bentuk-bentuk tindakan negatif pelajar yang merugikan dirinya sendiri maupun orang lain, seperti tawuran; miras; penggunaan obat-obat terlarang; hingga budaya free sex yang memprihatinkan. Lantas dapat kita simpulkan bahwa kegagalan sistem pendidikan ikut berperan dalam pembentukan karakter anak didik kita. Kegagalan produk tentunya berasal dari kesalahan proses maupun rendahnya mutu bahan baku. Sungguh kita terlalu terlena dengan keadaan saat ini, padahal mestinya kita jauh lebih prihatin melihat semakin buramnya masa depan anak bangsa ini ke depan. Sejatinya pendidikan moral dan karakter harus lebih ditingkatkan untuk menanggulangi krisis moral dan kepribadian tersebut.
Pendidikan karakter punya peran penting dalam menguatkan kepribadian anak didik. Banyak institusi pendidikan maupun pakar pendidikan berpendapat sama. Dewasa ini Menteri Pendidikan Nasional, Muhammad Nuh menyatakan akan terus menguatkan pendidikan karakter bagi pelajar Indonesia. Bentuk pendidikan ini akan diimplementasikan pada kegiatan akademik maupun non akademik seperti kegiatan ekstrakulikuler. Memang sewajarnya pendidikan karakter ini diarahkan sejak anak usia dini dan terpusat di lingkungan keluarga. Namun, menilik dinamika sistem pendidikan Indonesia saat ini, hal tersebut akan lebih baik bila diupayakan oleh banyak pihak, tidak hanya orang tua dan masyarakat tertentu. Implementasinya adalah pada pengembangan kecerdasan emosional anak didik, sehingga dapat meminimalisir bentuk-bentuk penyimpangan moral dan contoh perilaku negatif lainnya.
Beberapa penelitian bermunculan untuk menjawab urgensi pendidikan karakter ini. Dalam ringkasan beberapa penemuan peneliti dan pengamat pendidikan yang dilansir oleh sebuah buletin terbitan Character Education Partnership, diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menunjukan adanya peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademiknya. Lebih jauh, menurut Thomas Lickona, pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action).
Hal ini tampaknya sejalan dengan aspek afektif dalam nilai-nilai pancasila yang telah lama terlupakan. Pendidikan karakter ini merupakan satu dari sekian solusi yang bisa ditawarkan untuk pembenahan moral anak didik kita. Daniel Goleman juga berpendapat bahwa ternyata 80 persen keberhasilan seseorang di masyarakat dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Kecerdasan emosional anak memberikan motivasi internal untuk meningkatkan semangat belajar dan berempati dengan sesama. Mereka yang berperilaku positif, serta mampu beradaptasi dengan baik akan mempunyai tingkat percaya diri dan semangat belajar yang lebih, sehingga mendorong mereka untuk mengorientasikan masa depannya dengan lebih bijak.
Pembenahan cara pengajaran juga menjadi ikhwal penting suksesnya pendidikan. Pengajaran konvensional di dalam kelas perlu dirubah karna kegiatan belajar-mengajar tak cukup dilakukan hanya di kelas. Ilmu juga bisa digali dari lingkungan sekitar dengan manfaat yang lebih kompleks dan variatif. Metode pembelajaran yang tepat tak selamanya berdasarkan text book semata, tetapi juga dari berbagai media lainnya, baik cetak maupun elektronik. Berkembangnya teknologi turut mendukung kemajuan pendidikan dan menjadikannya lebih fleksibel diajarkan kapan pun dan di mana pun. Internet sebagai contoh telah beralih menjadi kultur baru dalam ranah kehidupan manusia. Kemajuan teknologi ini sangat membantu untuk memperkaya informasi dan ilmu selama dipergunakan secara tepat dan positif. Hal ini akan meminimalisir segala dampak negatif terhadap kepribadian anak didik. Maka sejatinya, karakter dan kultur yang baik perlu dibangun sejak dini sebagai benteng pertahanan diri yang kokoh terhadap arus globalisasi.
Dinamika kurikulum pengajaran yang ada memang menyesuaikan dengan perubahan dan problematika yang belum tuntas. Sistem-sistem yang terdahulu diaanggap sudah tidak mampu lagi menjawab tantangan tersebut, maka pendidikan alternatif yang lebih fresh semakin dilirik untuk menuju perbaikan. Koreksi dini serta pembenahan metode juga perlu ditunjang pemahaman yang dinamis untuk meningkatkan prestice sekolah demi mengembangkan standar kualifikasinya.
Ada banyak rintisan sekolah yang terus berkembang dengan sistem-sistem yang baru. Sebut saja untuk tingkatan SMP sudah rintisan standar nasional dan tingkatan SMA dengan rintisan taraf internasional. Di sinilah peran aktif siswa mulai terlihat meningkat. Kelas-kelas yang dulu lengang kini beralih riuh oleh celoteh-celoteh group discussion di kelas. Bahkan, siswa sekarang bisa menjadi tentor untuk teman sebayanya. Merintis pendidikan yang berkualitas memang harus menyentuh semua aspek vital. Dengan peningkatan grade sekolah, siswa juga akan terpacu untuk menjadi salah satu kebanggan sekolahnya di mana mereka akan lebih termotivasi untuk mengembangkan potensi dan prestasi belajarnya sesuai arahan kurikulum terbaru.
Ekspektasi ini memang cukup terasa dengan intensitas penggunaan bahasa asing yang ditingkatkan dalam kurikulum baru. Guru tak hanya sekedar “buku berjalan”, melainkan sebagai fasilitator sekaligus motivator dalam pengembangan diri anak didik. Kompleksitas permasalahan yang ada memang menuntut kesiapan para stake holder untuk menerapkan kebijakan yang tepat. Pihak sekolah dapat mengakomodir kebutuhan anak didik melalui pendidikan karakter dalam mata pelajaran maupun memfasilitasi mereka dengan berbagai bentuk kegiatan siswa yang positif seperti ekstrakulikuler maupun organisasi siswa. Dan pemerintah dapat menunjang hal tersebut dengan pengalokasian hibah insentif untuk siswa-siswa berprestasi.
Tampak di sini bagaimana peran setiap pelaku pendidikan diperlukan untuk saling melengkapi satu sama lain. Memang pada dasarnya kunci keberhasilan terletak pada sirkulasi sistem yang ideal. Tanpa hasil positif di awal, selanjutnya pun akan semakin memperburuk keadaaan jika tak dapat berbenah segera. Guru dapat mengambil alih peran orang tua di sekolah, dan orang tua dapat mengambil alih peran guru di rumah. Begitu pula dengan masyarakat dan pemerintah di lingkungan eksternalnya.
Bicara soal orientasi pendidikan, perlu diingat bahwa anak didik merupakan subyek penting yang harus diarahkan. Guru atau fasilitator dapat berinovasi dalam kegiatan belajar-mengajar. Ide-ide kreatif dapat menunjang motivasi anak didik untuk terus giat belajar dan menggali potensinya. Peran setiap elemen harus dioptimalkan menyusul arah kebijakan dan sistem pendidikan yang efektif, efisien, dan ideal. Secara komprehensif pendidikan melibatkan seluruh aspek penting dalam pengembangan saraf motorik, kepribadian, maupun kecerdasan kognitif anak didik. Namun, semua itu butuh dukungan tepat dari keseluruhan aspek, baik intenal maupun eksternal. Karena sekali lagi berbicara tentang pendidikan tak hanya cukup terkait subyek dan obyek pendidikan semata, tetapi juga daya dukung lingkungan dan kerangka sistem pendidikan yang baik.
Banyak akar permasalahan yang belum tuntas terselesaikan. Dengan beragam problematika dan dilematika pendidikan bangsa ini, tugas kita lah sebagai bagian bangsa Indonesia untuk berjuang bersama sebagai elemen pendidikan yang solutif. Tidak ada manfaatnya saling menyalahkan, karena kini saaatnya berbenah bersama. Satu tangan akan terasa berat daripada sejuta tangan yang tergenggam erat dalam satu tekad untuk pendidikan Indonesia yang lebih baik.



REFERENSI WACANA


(http://pondokibu.com/parenting/pendidikan-psikologi-anak/dampak-pendidikan-karakter-terhadap-akademi-anak/)
www.wikipedia.com
http://aksiguru.org/2011/02/22/dilematis-citra-guru-dan-mutu-pendidikan-nasional-2/
http://www.facebook.com/pages/Rublik-Opini/139592279390546
http://suhadinet.wordpress.com/2008/12/19/peran-serta-masyarakat-psm-terhadap-pendidikan/
Koran TEMPO edisi Minggu, 1 Mei 2011

PERAN KEHUTANAN DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DAN KERANGKA IMPLEMENTASI REDD+

PERAN KEHUTANAN DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DAN KERANGKA IMPLEMENTASI REDD+

Pemanasan Global (Global Warming) dan Perubahan Iklim : Suatu Telaah Reflektif
Pemanasan global (global warming) sudah menjadi fakta tak terbantahkan di tingkat global maupun lokal. Peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi sebagai akibat efek rumah kaca telah menimbulkan dampak yang begitu nyata, yaitu perubahan iklim. Anomali iklim yang serta merta terjadi di seluruh bagian dunia menjadi sorotan hangat di semua kalangan, baik lintas sektor maupun lintas aktor. Histerianya disusul dengan bentuk degradasi spasial terhadap kualitas fisik dan material bumi. Beberapa di antaranya memang kurang terasa, sementara sisanya begitu nyata di hadapan kita. Bagi sebagian orang, isu perubahan iklim mungkin masih begitu abstrak karena dampaknya hanya terlihat nyata di lingkungan yang terasing dan non kualitatif. Namun bagi negara-negara besar yang notabene sebagai pengguna energi bumi, baik yang berasal dari dalam maupun sumber daya hayati secara eksploitatif, tentunya akan menyadari bagaimana iklim itu menunjukkan perubahannya. Katakanlah seperti bencana banjir dan kekeringan yang selalu menyapa dalam setiap pergantian musim yang tak teratur. Seperti sudah ditakdirkan dari awal, kerusakan bumi pasti tak bisa dihindari. Seperti yang dikatakan oleh ahli biologi Camille Parmesan dalam penelitiannya tentang efek perubahan iklim terhadap kehidupan liar di seluruh dunia, bahwa dampak perubahan iklim sudah terasa di setiap benua dan samudra. Tidak ada kawasan yang kebal terhadap perubahan tersebut, bahkan di sejumlah wilayah yang rentan terhadap perubahan iklim mengalami penurunan serta kepunahan sejumlah spesies.
. Sejenak kita cermati, sejatinya Gas Rumah Kaca (GRK) yang secara alamiah ada untuk menjaga stabilitas suhu bumi telah kehilangan kontrol akan fungsi aslinya. Efek rumah kaca membuat panas terakumulasi di bumi dengan sedikit yang bisa terbuang ke atmosfer. Kontributor terbesar pemanasan global saat ini adalah Karbon Dioksida (CO2), metana (CH4) yang dihasilkan agrikultur dan peternakan (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari pupuk, dan gas-gas yang digunakan untuk kulkas dan pendingin ruangan (CFC). Rusaknya hutan-hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyimpan CO2 juga makin memperparah keadaan ini karena pohon-pohon yang mati akan melepaskan CO2 yang tersimpan di dalam jaringannya ke atmosfer. Setiap gas rumah kaca memiliki efek pemanasan global yang berbedabeda. Beberapa gas menghasilkan efek pemanasan lebih parah dari CO2. Sebagai contoh sebuah molekul metana menghasilkan efek pemanasan 23 kali dari molekul CO2. Molekul NO bahkan menghasilkan efek pemanasan sampai 300 kali dari molekul CO2. Gas-gas lain seperti chlorofluorocarbons (CFC) ada yang menghasilkan efek pemanasan hingga ribuan kali dari CO2. Tetapi untungnya pemakaian CFC telah dilarang di banyak negara karena CFC telah lama dituding sebagai penyebab rusaknya lapisan ozon.
Karbon dioksida dulu tidak mempunyai reputasi yang begitu buruk. Gas ini dibutuhkan oleh tanaman untuk melakukan proses fotosintesis dan, seperti gas rumah kaca lainnya, berguna untuk mempertahankan suhu bumi di malam hari dengan menahan sebagian pancaran balik cahaya matahari. Temperatur bumi ini juga dipengaruhi oleh faktor alam lain seperti perubahan matahari dan letusan gunung berapi yang besar. Namun, konsentrasi karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya meningkat drastis setelah adanya industrialisasi dan sejak manusia mulai menggunakan bahan bakar fosil, yang melepaskan banyak karbon ke atmosfer. Semakin banyak pancaran balik cahaya matahari yang terperangkap dan temperatur bumi naik dengan rata-rata sekitar 0,4 derajat Celcius sejak tahun 1970-an. Sembilan dari 10 tahun terpanas dalam sejarah terjadi pada dekade terakhir, bahkan tahun 2010 tercatat sebagai tahun terpanas, sejajar dengan tahun 2005. Banyak orang pada awalnya menentang adanya perubahan iklim dan mempertanyakan peran manusia di dalamnya. Setelah mengkaji ratusan hasil studi dari seluruh dunia, para ahli yang tergabung dalam Intergovernmental Panel on Climate Change pada tahun 2007 sepakat bahwa kegiatan manusia merupakan penyebab utama pemanasan global. Faktor alam semata tidak cukup kuat untuk menjelaskan pemanasan secepat ini. Kenaikan suhu bumi tidak boleh melampaui 2 derajat pada tahun 2025 untuk membatasi akibat buruknya bagi hidup manusia.
Perubahan iklim membawa dampak ekologis yang besar bagi kehidupan di bumi. Iklim yang semakin panas akan mempengaruhi ketersediaan air serta meningkatkan intensitas kondisi cuaca ekstrim seperti badai dan kekeringan. Banyak petani di Indonesia sudah merasakan hal ini dalam kesulitan mereka untuk memperkirakan waktu tanam dengan musim yang semakin tidak menentu. Lapisan es di kutub juga mencair dan akan menyebabkan meningkatnya permukaan air laut. Indonesia memiliki 55.000 kilometer pantai, kedua terpanjang di dunia setelah Kanada, dan kenaikan permukaan laut ini akan menimbulkan banyak kesulitan di daerah padat penduduk serta hilangnya pulau-pulau kecil. Bukan hanya manusia, perubahan iklim juga mempengaruhi tanaman dan binatang yang memiliki batas adaptasi ekologis yang rendah. Sebagian mungkin bisa pindah dan beradaptasi, tetapi yang lain akan punah. Beruang kutub, misalnya, tidak akan bisa pindah ke mana-mana jika lapisan es tempat mereka hidup sudah mencair. Para pakar iklim telah banyak berpendapat tentang kondisi bumi untuk 1-2 dekade ke depan. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), sebuah lembaga peneliti iklim dari asosiasi pakar ilmu bumi terkemuka pernah memprediksikan kenaikan permukaan air laut sebanyak 18-58 cm di tahun 2100, bahkan bisa mencapai 90 cm atau lebih. Tentu bisa kita bayangkan apa yang terjadi nantinya jika prediksi itu benar terbukti. Samudra Antartika merupakan contoh nyata pemanasan global yang melaju cepat menyusut dan menipiskan bantalan es sejak awal 1990-an.
Masalah perubahan iklim dan global warming ini sudah perlu mendapatkan penanganan yang serius dari semua pihak. Ini bukan lagi sekedar persoalan para peneliti atau lembaga terkait, tapi ini adalah tangung jawab kita bersama. Budaya kuldesak yang merajalela, meniadakan lahan hutan atau bentuk lingkungan alami menjadi lahan-lahan pemukiman, industri, serta bentuk infrastruktur lainnya harus dibatasi secara hukum. Sebut saja daerah Kalimantan yang hutannya semakin menyusut akibat pembukaan lahan hutan sebagai sarana transportasi dan sejumlah penambangan serta perkebunan. Dapat dilihat dampak deforestasi yang meluas tanpa dibarengi usaha reklamasi lahan secara tepat dan cepat. Tak ayal jikalau sering kita dapati berbagai bentuk bencana alam yang kerap menimpa wilayah nusantara ini. Dari kondisi iklim musiman yang kita miliki, wilayah nusantara rentan terhadap banjir kala musim penghujan dan kekeringan kala musim kemarau.

Kehutanan : Antara Idealita dan Realita
Kehutanan merupakan sektor vital bagi pencapaian kesejahteraan masyarakat, di mana terdapat hubungan alamiah antara masyarakat dan hutan. Hutan menyediakan berbagai sumber daya untuk kebutuhan manusia, dan manusia berperan sebagai subyek pengelola. Besarnya potensi hutan, terutama di Indonesia menjadikan kehutanan sebagai sektor yang potensial bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi negara. Hutan di zaman kejayaannya, pernah menjadi primadona pemerintah sebagai menyumbang devisa terbesar bagi negara, selain sektor pertambangan. Salah satu manfaat hutan adalah sebagai stabilisator kelestarian ekologi. Posisi hutan sebagai paru-paru dunia menjadikan peranannya begitu kompleks dalam menjaga stabilitas iklim di bumi dan atmosfer. Hal ini adalah erat kaitannya dengan fungsi hutan sebagai penyerap dan penyimpan karbon (carbon sink and sources).
Ada sekitar 4 miliar hektar hutan di dunia, yang menutupi hampir 30 persen dari wilayah daratan bumi. Sekitar 56 persen dari hutan itu berlokasi di wilayah tropis dan subtropis. Indonesia memiliki hutan tropis ketiga terluas di dunia – hanya Brazil dan Kongo yang mempunyai hutan tropis yang lebih besar. Manusia sejak dulu telah memanfaatkan hutan dan berbagai jasa ekosistem yang ditawarkannya, seperti perlindungan tanah dan penyimpanan air. Sejumlah 1,2 miliar penduduk dunia diperkirakan menggantungkan penghidupan kepada hutan dan sekitar sepertiga total populasi dunia menggunakan bahan bakar biomasa, terutama kayu bakar untuk keperluan memasak dan menghangatkan rumah mereka. Tidak hanya bermanfaat untuk manusia, hutan pun menjadi rumah bagi berbagai spesies lainnya. Menurut catatan Bank Dunia, hutan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang begitu tinggi, yaitu 17 persen dari spesies burung, 16 persen reptil dan hewan amfibi, 12 persen mamalia dan 10 persen tumbuhan di dunia.
Namun, kondisi ini berujung pada keprihatinan tatkala sektor kehutanan dijadikan sapi perahan dalam eksploitasi sebesar-besarnya untuk kepentingan ekonomi belaka. Wajah politik dan kebijakan pengelolaan hutan yang sentralistik (state based) pada era orde lama dan orde baru membuktikan bahwa pengelolaan hutan berbasis kepentingan ekonomi telah menunjukkan dampak degradasi dan deforestasi hutan. Kepentingan sempit yang menjadi paradoks amanat pengelolaan SDA sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat sudah mencapai kompleksitas problematika global. Marginalisasi kepentingan masyarakat lokal turut mendorong timbulnya berbagai konflik sosial yang berujung pada kekerasan struktural terhadap masyarakat. Lantas, dampak konkrit di lapangan menunjukkan realitas pemiskinan masyarakat lokal di semua aspek. Realita pengelolaan hutan yang salah kaprah secara ekologis menimbulkan dampak instabilitas iklim global. Fakta ini semakin mengemuka dalam setiap kajian yang tak pernah habis perkaranya, yakni Fenomena Pemanasan Global (Global Warming).
Sejatinya, dalam perputaran iklim, hutan memiliki peran ganda. Deforestasi dan degradasi hutan melepas karbon yang tersimpan dalam pohon atau lahan gambut. Diperkirakan jumlah emisinya mencapai antara 17-20 persen total emisi gas rumah kaca dunia, lebih besar daripada emisi sektor transportasi global. Selain itu, hutan yang sehat menyerap karbon dioksida dari atmosfer untuk membantu proses fotosintesis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 15 persen dari 32 miliar ton karbon dioksida yang dihasilkan setiap tahun oleh kegiatan manusia diserap oleh hutan. Jadi, ketika hutan rusak, kita rugi dua kali. Kita tidak hanya melepas karbon dari pohon, tetapi juga kehilangan kemampuan hutan untuk menyerap karbon dioksida. Peran hutan menjadi lebih penting lagi dalam kebijakan perubahan iklim di Indonesia. Hutan menutupi antara 86 – 93 juta hektar, atau hampir setengah total wilayah darat negara ini. Menurut data terakhir Kementerian Kehutanan, Indonesia kehilangan 1.18 juta hektar hutan setiap tahunnya. Deforestasi dan perubahan tata guna lahan, termasuk lahan gambut, menghasilkan sekitar 60 persen total emisi Indonesia. Struktur emisi seperti ini membuat Indonesia memilih penanganan deforestasi dan degradasi hutan sebagai salah satu cara utama mengurangi emisi dan menghadapi perubahan iklim. Hal ini sesuai dengan kesepakatan global untuk memasukkan skema REDD+, yaitu insentif positif bagi negara berkembang yang melindungi hutannya, dalam perjanjian yang mulai berlaku Protokol Kyoto berakhir pada tahun 2012.

Kehutananan dalam Kerangka REDD+ : suatu keniscayaan ?
Kompleksitas permasalahan iklim dan semakin besarnya dampak pemanasan global ini mendorong upaya masyarakat internasional untuk merumuskan kebijakan pengurangan emisi karbon yang ditandai oleh adanya Protokol Kyoto pada tahun 1997 silam. Protokol Kyoto adalah sebuah amandemen Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC, yang diadopsi pada Pertemuan Bumi di Rio de Janeiro pada 1992). Semua pihak dalam UNFCCC dapat menanda tangani atau meratifikasi Protokol Kyoto, sementara pihak luar tidak diperbolehkan. Protokol Kyoto diadopsi pada sesi ketiga Konferensi Pihak Konvensi UNFCCC pada 1997 di Kyoto, Jepang. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global.
Kebijakan yang dihasilkan dalam rumusan tersebut kita kenal dengan istilah REDD (Reduce EmissionS from Deforestation and Forest Degradation) yang lantas disempurnakan dengan REDD+. REDD+ merupakan suatu mekanisme global yang bertujuan untuk memperlambat perubahan iklim dengan memberikan kompensasi kepada negara berkembang untuk melindungi hutannya. Skema ini mulai menjadi perdebatan yang hangat sejak Papua Nugini dan Kosta Rika menjabarkan proposal pengurangan emisi deforestasi pada diskusi perubahan iklim pada tahun 2005. Indonesia maju untuk memperjuangkan REDD pada konvensi perubahan iklim di Bali tahun 2007, di mana ide tersebut telah berkembang dengan mengikutsertakan isu ‘degradasi hutan’. Berbagai usul penambahan isu tentang agroforestri dan pertanian juga muncul. REDD berkembang lebih jauh lagi -- tanda ‘plus’ di belakangnya menambahkan konservasi dan pengelolaan hutan secara lestari, pemulihan hutan dan penghutanan kembali, serta peningkatan cadangan karbon hutan. Dengan cepat REDD+ menjadi faktor penting dalam berbagai negosiasi internasional karena dianggap sebagai salah satu cara paling murah untuk memperlambat laju perubahan iklim. Modelnya menuruti prinsip “common but differentiated responsibility”, di mana negara maju, yang menghasilkan banyak emisi dalam proses industrialisasi dan untuk menopang gaya hidup, menyediakan dana dan teknologi untuk negara berkembang sebagai bentuk komitmen mengurangi dampak emisi karbon mereka.
Walaupun gagasannya tampak sederhana, implementasi di lapangan jauh lebih sulit. Tantangan-tantangan besar di dalam mekanisme ini termasuk bagaimana mengukur karbon secara akurat, bagaimana memastikan dana sampai ke komunitas hutan dengan transparan dan efisien, siapa yang akan bertanggung jawab apabila hutan ternyata tetap rusak, serta sumber pendanaan. Lebih dari 30 model tentang bagaimana REDD+ seharusnya dilaksanakan telah diajukan oleh berbagai negara dan organisasi non pemerintah. Dalam konvensi perubahan iklim terakhir di Cancun tahun 2010, dunia telah sepakat untuk memasukkan REDD+ dalam mekanisme yang akan berlaku setelah Protokol Kyoto berakhir di tahun 2012. Dana sudah mulai mengalir, misalnya dari Norwegia, yang berkomitmen untuk mengucurkan dana sampai US$ 1 miliar untuk Indonesia di bawah payung REDD+. Indonesia menjadi salah satu negara terdepan dalam persiapan REDD+ dengan mengeluarkan berbagai peraturan terkait dan mencanangkan propinsi Kalimantan Tengah sebagai propinsi percontohan. Rencana Aksi Nasional mengamanatkan adanya moratorium penebangan hutan, yang juga merupakan bagian dari kesepakatan dengan Norwegia, serta pembenahan tata kelola hutan secara keseluruhan. Moratorium yang akan berlaku selama 2 tahun, berlaku secara retroaktif mulai 1 Januari 2011, sedang digodok.
Konsekuensi logis adanya konsepsi ini tentu mendorong sektor kehutanan untuk berbenah dalam rangka revitalisasi peran keseluruhan aspek di dalamnya. Oleh karena itu, segala koridor di balik prosesi tata kelola hutan mesti diupayakan untuk terjaminnya kelestarian. Dalam hal ini, aspek utama yang perlu dibenahi adalah terkait perencanaan pengelolaan hutan secara lebih ideal dan optimal. Jika REDD hanya mencakup kegiatan yang memungkinkan pengurangan emisi CO2 yang disebabkan oleh deforestasi dan degradasi hutan, maka kajian REDD+ lebih luas, yakni untuk memperkuat dan memperluas peran hutan sebagai sumber karbon. Porsi yang diambil sector kehutanan sebesar 14 % terhadap implementasi REDD+ ini. Hal ini dapat dicapai dengan mendukung konservasi hutan, pengelolaan hutan lestari dan peningkatan cadangan karbon hutan. REDD+ dapat menjadi strategi mitigasi perubahan iklim yang relatif biaya-efektif yang dengan perhatian yang tepat untuk fungsi sosial dan lingkungan dari negara-negara hutan akan dapat menciptakan manfaat tambahan bagi masyarakat, masyarakat dan konservasi keanekaragaman hayati.
Beberapa program yang dapat dilakukan dalam rangka pengurangan emisi dari sektor kehutanan, antara lain: menekan laju deforestasi melalui a) Pengendalian penggunaan dan pelepasan kawasan hutan; dan b) Penghentian izin baru dan konversi di hutan gambut untuk pertanian dan pemukiman. Untuk implementasi program ini diperlukan penyiapan peraturan perundangan, antisipasi/strtegi untuk memfasilitasi kebutuhan sek tor lain baik secara parsial maupun dalam revisi RTRWP, serta upaya mengatasi terjadinya deforestasi yang tidak tencana. Mengurangi degradasi melalui a) Penerapan RIL (Reduced Impact Logging); b) Rehabilitasi hutan gambut; dan c) Pengaturan & penurunan jatah tebang. Disamping langkah/solusi teknis tersebut diperlukan kebijakan yang tegas tehadap IUPHHK-HA dan IUPHHK-HT yang kinerjanya buruk. Pengelolaan hutan produksi lestari melalui a) Penerapan multi system silvikultur; dan b) Penerapan sertifikasi legalitas kayu (SVLK). Peningkatan Peran Konservasi melalui a) Intensifikasi pengelolaan kawasan konservasi; dan b) Menetapkan areal lindung lokal (setempat) yang mempunyai nilai konservasi tinggi (HCV) di areal kerja IUPHHK-HA dan IUPHHK-HT.
Peningkatan Stok Karbon Hutan melalui pembangunan hutan 1,6 jt ha/th dalam bentuk HKm/Hutan Desa, RHL DAS, HTI/HTR, Restorasi HPH, dan Hutan Rakyat kemitraan juga menjadi solusi positif dalam implementasi REDD+. Program-program tersebut dalam implementasinya memerlukan dukungan antara lain berupa perlunya kebijakan lintas sektor, penyiapan peraturan perundangan terkait karbon (pembatasan pemanfaatan lahan gambut, hutan alam primer, dsb), mekanisme penyelesaian konflik kawasan termasuk di dalamnya adanya keterlanjuran kegiatan non kehutanan di dalam kawasan hutan, reformasi birokrasi yang antara lain percepatan pembentukan KPH, serta pemutakhiran data dan informasi. Proses tata kelola yang pro masyarakat identik dengan tujuan pengelolaan hutan lestari, di mana aspek sosial menjadi salah satu parameter ukurannya. Oleh karena itu, pemberdayaan peran masyarakat dalam upaya peningkatan partisipasi masyarakat juga menjadi kajian penting mengingat masih banyaknya konflik sosial di lapangan. Partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan cukup relevan dengan tujuan pembangunan daerah dan penguatan sendi-sendi demokrasi. Partisipasi membuka peluang akses terhadap peningkatan peran dan kapasitas sosial masyarakat, serta peluang pemanfaatan dan pengelolaan SDH secara lebih proporsional. Dalam hal ini, masyarakat dapat berpartisipasi untuk menentukan strategi pengelolaan hutan yang efektif diterapkan di wilayahnya sesuai dengan kemampuan biofisik lahan dan nilai sosial budaya setempat (local specific). Dengan pengelolaan secara partisipatif, diharapkan arah pengambilan kebijakan pengelolaan hutan mampu mengakomodir kepentingan masyarakat lokal sebagai salah satu stakeholder penting, bahkan yang utama.
Semangat partisipasi menjadi salah satu indikator pelaksanaan pembangunan hutan, di mana masyarakat desa hutan diposisikan sebagai aktor utama yang menentukan arah kelestarian hutan. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan akan semakin menegaskan arah pembangunan hutan secara ideal dan tepat, dengan dukungan pengalaman teknis masyarakat di lapangan. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan SDH secara desentralistik sudah sewajarnya ditingkatkan mengingat banyaknya konflik tenurial akibat marginalisasi kepentingan masyarakat. Pelibatan masyarakat secara aktif dalam pengelolaan hutan, serta pemberdayaan masyarakat merupakan investasi jangka panjang guna mewujudkan kesetaraan hak, keadilan peran dan kepentingan, peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam rangka pengurangan prosentase kemiskinan, serta modal dasar menuju realisasi konsep sustainable forest management (SFM). Selanjutnya, dengan terbentuknya kaidah-kaidah pengelolaan hutan berdasarkan konsep SFM ini, maka peran kehutanan dalam mitigasi perubahan iklim dan kerangka implementasi REDD+ akan niscaya tercapai.






REFERENSI KAJIAN

Sumber Internet (diakses 6 Desember 2011, pkl. 13.00)
http://www.iucn.org/about/work/programmes/forest/fp_our_work/fp_our_work_thematic/redd/redd_plus_explained/
http://en.wikipedia.org/wiki/Reducing_Emissions_from_Deforestation_and_Forest_Degradation
http://vegclimatealliance.org/livestock-and-climate-change-qa
http://www.worldwatch.org/node/6294
http://www.reddindonesia.org/”apa%20itu%REDD-files?ga.js
http://www.reddindonesia.org/”perubahan%20iklim-files?ga.js
http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/6573

Sumber Bacaan
Akiefnawati, Ratna; dkk. 2010. Bersama Menjaga Hutan : Upaya Mengurangi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi di Desa Lubuk Beringin. Bogor : World Agroforestry Centre (ICRAF).
Angelsen, Arild; et all. 2009. Realising REDD+ : National Strategy and Policy Options. Bogor : CIFOR.
Cronin, Tim; Santoso, Levania. 2011. Politik REDD+ di Media : Studi Kasus dari Indonesia. Working Paper 54. Bogor : CIFOR.
Murdiyarso, Daniel; et all. 2011. Indonesia’s Forest Moratorium: A Stepping Stone to Better Forest Governance ?. Working Paper 76. Bogor : CIFOR.
Verchot, Louis V., et all. 2010. Mengurangi Emisi Kehutanan di Indonesia. Bogor : CIFOR .