Jumat, 09 Desember 2011

Melihat Lebih Dekat Wajah Pendidikan Bangsa

Melihat Lebih Dekat Wajah Pendidikan Bangsa

Indonesia, sebuah negeri dengan sejuta budaya dan adat istiadat. Sebuah bangsa yang lahir dari ketertindasan, kebodohan yang lantas menjelma menjadi momok menakutkan sepanjang era perubahan zaman. Indonesia dengan ilham sejuta bakat dan potensi terpendam, termasuk dilematika proses mendidik dan terdidik yang tersemat dalam tubuh Pendidikan Indonesia.
Kita sangat mengenal apa yang biasa kita sebut “Pendidikan”. Pendidikan sejatinya bermakna tuntunan, ajaran yang baik untuk menjaga dan mengarahkan anak didik kepada manfaat yang diinginkan. Pendidikan merupakan upaya perbaikan sikap dan perilaku manusia menuju kepribadian yang istimewa. Tentunya kita paham apa makna istimewa yang dimaksudkan. Istimewa menyatakan ukuran nilai yang logis dan penuh kebaikan. Sebagaimana manusia belajar memaknai hidup dan terus berkembang mengiringi perubahan dunia.
Seorang tokoh pendidikan legendaris, salah satu anak negeri yang membanggakan, Ki Hajar Dewantara, sempat memberikan setitik cahaya untuk pendidikan bangsa. Bapak pendidikan kita ini adalah contoh suri teladan yang baik untuk kita lanjutkan perjuangannya. Beliau mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.
Bukan hal yang mengherankan tatkala kita mencoba memeras otak, memacu detak jantung, bahkan membanting raga demi arti sebuah pendidikan. Pendidikan dinilai sebagai suatu harta yang kekal lantaran di dalamnya terdapat suatu transfer ilmu dan pengalaman luar biasa yang tak kan habis terkikis zaman. Dengan pendidikan orang akan memperoleh derajat lebih, sebagaimana telah diwahyukan pula oleh Sang Pencipta melalui sumber ilmu yang hakiki, yakni Al-Qur’an. Karna ilmu ibarat sebuah kapal yang membawa kita mengarungi samudra kehidupan yang penuh problematika.
Layaknya manusia yang dibekali akal, rasa, dan pikiran untuk menjadi khalifah di muka bumi ini, maka manusia pantas mendapatkan derajat tertinggi sebagai makhluk ciptaan ALLAH SWT yang paling sempurna. Secara psikologis manusia mempunyai perasaan ingin tahu dan jiwa-jiwa yang bebas menginterpretasikan setiap hasrat dan keinginannya. Oleh karena itu penting bagi manusia memperoleh pengajaran yang tepat sebagai bekal kehidupan yang lebih baik.
Pendidikan hakikatnya adalah alat untuk mencari jalan kesempurnaan hidup, di mana substansinya dapat “memanusiakan manusia”. Tentu tujuan hidup yang ideal tak hanya dicapai dengan bekal jiwa-raga semata tanpa dibarengi dengan “senjata” yang tepat, yakni ilmu yang kita peroleh dari bangku pendidikan.
Namun, realitanya pendidikan saat ini sudah berada dalam kondisi memprihatinkan. Bagaimana tidak, ketika kita berbicara soal pendidikan, akan terbayang dalam benak kita jutaan anak putus sekolah, bangunan-bangunan reyot yang tak layak disebut sekolah, nasib para guru yang jauh lebih menyedihkan dari kuli, atau masih banyak realita lain yang tak beda jauh keadaannya. Sepertinya harapan telah memanjakan kita dengan buaian-buaian mimpi yang muluk, tetapi tidak disokong dengan implementasi sikap dan usaha yang seimbang, sehingga dilematika pendidikan kian bertambah.
Sebuah catatan besar menyatakan bagaimana bangsa kita cukup sempoyongan menuntun arah gerak pendidikan yang ideal. Berbagai ramuan antara ide-ide, ilmu, pengalaman, kebijakan, maupun kepentingan sempit mewarnai perhelatan akbar pendidikan negeri ini. Masih disayangkan manakala yang tampak justru banyaknya problematika dan kemunduran sistem. Karut marut dunia pendidikan menambah daftar merosotnya kualitas SDM yang kita punya. Bagaikan kehilangan arah, pendidikan tak lagi punya goal yang jelas menyikapi berbagai pressure dan persoalan moral bangsa ini.
Pendidikan pada dasarnya mencakup dua aspek penting, yakni aspek kognitif (pikiran) dan aspek afektif (perasaan), di samping aspek motorik sebagai komplemen. Namun sejauh ini sepertinya aspek kognitif selalu lebih dominan dibandingkan aspek afektif. Padahal keduanya harus berjalan seimbang dan saling berkomplemen. Kedua aspek ini sejatinya terus beriringan memberikan warna positif dalam dunia pendidikan, di mana energi-energi yang timbul mampu mencerahkan kehidupan manusia itu sendiri. Sebagai contoh ketika kita belajar sesuatu, maka tak hanya proses berpikir yang kita lakukan, tapi juga perasaan yang menyuplai emosi positif seperti semangat dan perasaan senang.
Pernahkah kita menyadari apa sebenarnya yang salah hingga menyebabkan pincangnya langkah pendidikan saat ini ? Salah satunya adalah kesalahan dalam sistem pendidikan. Bangsa ini sepertinya telah lupa bagaimana dulu pancasila disusun sebagai ideologi dan kepribadian bangsa. Bukan bangsa “bejat” dan amoral yang kita harapkan, tetapi bangsa yang bermartabat dengan berlandaskan nilai-nilai pancasila. Pendidikan kita agaknya telah mengesampingkan aspek afektif ini untuk sekedar mengejar deretan angka-angka kognitif yang semu. Padahal aspek afektif tersebut mampu membentengi sikap-sikap negatif yang dapat timbul setiap saat. Saya pikir kita tidak hanya ingin terlahir sebagai generasi berotak yang tidak bermoral.
Pada dasarnya karakter bangsa dibentuk oleh karakter masyarakatnya, maka tak disangsikan jika akhirnya berbagai polemik muncul menyusul rusaknya moral-moral generasi saat ini. Sistem pendidikan terdahulu lah yang telah salah mendidik anak-anak kita hingga akhirnya menjadi bumerang bagi bangsa kita sendiri. Dampaknya secara komprehensif berpengaruh terhadap bidang-bidang non pendidikan yang notabene dijalankan oleh manusia-manusia hasil didikan sistem yang lama. Jelas sudah kenapa bangsa ini semakin padat dengan manusia-manusia “bejat” yang tak cukup potensial pada aspek afektif mereka. Sialnya lagi, sebagian besar dari mereka lah yang sekarang menghuni kursi-kursi penting nan panas sebagai orang-orang berdasi, orang-orang elit. Sungguh dilematis !!!
Mari sejenak kita cermati ke belakang, cerita lama yang telah usang termakan arus globalisasi atau budaya kuldesak yang terus menggerogoti jati diri bangsa ini. Ibarat sebuah rumah, bangsa ini merupakan keluarga besar yang terus berkembang. Sebuah keluarga besar yang punya banyak impian tinggi, hingga menembus batas akal rasional kita. Namun, kenyataannya kita sering terjerumus dalam mimpi-mimpi yang kita susun sendiri. Jatuh tersungkur hingga tak mampu bangkit lagi untuk kesekian kali. Pantaslah kita menghela napas, mengelus dada sembari memainkan otak dan hati kita untuk terus mencerna. Apa sebenarnya yang terjadi ???
Jutaan penduduk Indonesia dengan segala macam latar belakang suku budaya, agama, ras dan bahasa, serta identitas diri yang berwarna tak hanya berpotensi untuk menjadi suatu kebanggaan, tapi juga kelemahan. Potensi yang begitu melimpah dari segi kuantitas ternyata belum menunjukkan tanda-tanda perubahan yang signifikan dan sinkron dengan kualitasnya. Beragam problematika menjadikan pendidikan sebagai momok yang menakutkan, layaknya beban yang begitu berat untuk dipikul sekian lama. Hal ini cenderung dikaitkan dengan stabilitas bangsa yang terus memburuk, hingga memperbesar celah-celah kekurangan bangsa ini. Padahal sejatinya pendidikan itu sendiri lah obatnya.
Sejak merdeka tampaknya bangsa ini belum mampu berbenah dengan benar. Tentu saya yakin salah satunya adalah kesalahan sistem pendidikan seperti yang telah saya sebutkan di atas. Di samping itu kita tahu betul bahwa arah kebijakan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara guna mendukung ketertiban dunia layaknya tercantum dalam tujuan negara Indonesia. Dalam UU No.23 tahun 2003 dan UUD 1945 juga telah diatur bagaimana suatu kerangka sistem pendidikan nasional yang efektif untuk mencapai cita-cita mulia bangsa. Suatu pendidikan yang memberikan manfaat secara berkesinambungan sebagai fondasi moral dan membentengi setiap masyarakat Indonesia dengan budi pekerti yang luhur. Di dalamnya mencakup pengembangan moral, ilmu, dan kultur pancasila yang demokratis dan berkeadilan demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat.
Namun dewasa ini tampaknya karut marut sistem pendidikan bangsa kian menjadi-jadi. Kenyataan menunjukkan bahwa kesalahan sistem pendidikan bangsa ini adalah cenderung top-down atau dari atas ke bawah. Inilah akar permasalahan yang mesti dipecahkan mengingat metode ini hanya menjadikan anak didik sebagai obyek pasif. Guru hanya sekedar mentransfer ilmu kepada anak didik, dan sebaliknya anak didik hanya diam mendengarkan dengan segala keterbatasan ruang untuk aktif berdiskusi. Hal ini bukanlah metode yang tepat karena seolah-olah Guru ibarat dewa yang tahu segalanya dan murid hanyalah konsumen yang siap menampung segala hal yang ia terima tanpa menelaah lebih jauh apa yang bisa mereka perbuat dengan ilmu dan potensi dirinya.
Bangsa ini tak cukup mampu menyingkronkan antara kuantitas dan kualitas. Pantaslah jika Indonesia jauh tertinggal dengan negara-negara maju di dunia. Potensi SDM yang melimpah hanya sekedar tenaga kasar yang tidak cukup mampu bersaing dengan ilmunya. Konsekuensi logis dalam hal ini bisa diibaratkan bahwa kita sebenarnya masih “terjajah”. Bukan hanya atas kekuatan bangsa lain, tetapi justru kita terinjak-injak dengan kelemahan kita sendiri. Sungguh disayangkan kenapa bangsa yang kaya sumberdaya alam ini justru menjadi budak di negeri sendiri. Jelas sudah mutu pendidikan bangsa ini masih relatif rendah.
Rendahnya mutu pendidikan ini salah satunya dipengaruhi oleh rendahnya grade profesi guru. Guru masih dianggap sebagai profesi yang biasa. Padahal jika kita menilik ke negara-negara maju, profesi guru sangat proporsional, punya gengsi tinggi untuk memperoleh kebanggaan sebagai guru. Namun di negara kita, profesi ini masih kalah bersaing dengan profesi lain. Terbukti dengan makin rendahnya minat para lulusan sekolah menengah untuk mengambil studi keguruan semacam ini. Padahal peran guru sejatinya sangat menentukan masa depan pendidikan bangsa. Jika saja kita paham bahwa seorang guru adalah pejuang sejati. Mereka seperti rajurit yang berperang melawan penjajahan, keterpurukan, kebodohan dan kemiskinan bangsa. Guru laksana oase di tengah padang pasir. Setiap apa yang mereka perbuat adalah kebaikan. Namun halini mesti didukung pula oleh penghargaan da perhatian yang sebanding. Apakah memang guru hanya bisa memperoleh gelar pahlawan tanpa tanda jasa ???
Efektivitas pengajaran oleh tenaga didik yang berkompeten dan berkualitas dapat mendongkrak perbaikan mutu pendidikan nasional. Namun sepertinya para tenaga didik ini masih belum mendapatkan penghargaan yang layak, baik dari segi ekonomi, sosial, maupun kariernya. Pemerintah masih belum paham betul fungsi guru sebagai agent of change. Jadi bukan hanya anak didik yang berperan, tapi guru lah sebenarnya yang bertugas membentuk karakter tersebut. Karut marut ini tak lantas menjadi topik bahasan utama pemerintah. Bahkan penanganannya pun cenderung lambat. Sebagai contoh, sampai saat ini pemerintah hanya mempersoalkan masalah nilai standar kelulusan. Padahal sebenarnya persoalan utama adalah terkait sistem pendidikan yang buruk, di samping citra guru yang rendah di mata masyarakat.
Di samping persoalan efektivitas pendidikan, efisiensi sistem juga berpengaruh dalam mutu pendidikan nasional. Bagaimana segenap elemen pendidikan mampu meramu konsep secara tepat. Bukan sekedar hasil yang harus dicapai, tapi proses pencapaian itulah sebenarnya poin penting yang harus diperhatikan. Hasil yang baik akan lebih baik jika diiringi proses yang baik pula. Tidak ada salahnya belajar dari mereka yang telah berhasil menjadikan pendidikan sebagai prestasi bangsa yang membanggakan. Perlu koreksi besar terkait segala problematika yang ada, lantas diimplementasikan dalam upaya kritis memperbaiki kondisi pendidikan bangsa.
Lantas jika pertanyakan kembali, apakah standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum ? Dalam contoh kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya. Evaluasi pendidikan dalam tahun akhir pembelajaran semacam itu kurang representatif mengingat lulus tidaknya anak didik hanya ditentukan oleh beberapa jam dalam beberapa hari dan beberapa mata pelajaran yang diujikan. Bagaimana bisa proses pendidikan selama beberapa tahun sebelumnya hanya dijadikan sebagai formalitas semata. Standar pendidikan ini tentu masih jauh dari sempurna dibandingkan kompetitor lain di dunia luar. Jangan sampai ekspektasi ini jadi bumerang untuk pendidikan bangsa kita sendiri.
Fakta lain mengungkapkan bahwa Indonesia masih terbelit dengan persoalan biaya pendidikan. Banyak generasi bangsa yang gagal mengenyam nikmatnya pendidikan karna sebab ini. Alokasi dana bantuan pendidikan belum mampu mengakomodir semua kebutuhan pendidikan bangsa. Harga yang harus dibayar untuk sebuah paket pendidikan sangat sulit terjangkau golongan akar rumput. Ini cambukan keras untuk pemerintah bagaimana mereka dapat berupaya mengimplementasikan substansi UUD 1945 dan pancasila dalam perbaikan sistem yang bobrok. Maraknya KKN oleh sebagian stakeholder lantas memangkas hak-hak anak-anak yang putus sekolah. Dan parahnya problem ini masih dikesampingkan dan dianggap suatu hal yang biasa. Pantasnya kita sadar bahwa pendidikan sangat penting bagi generasi muda.
Pendidikan sejatinya merupakan tanggung jawab bersama. Setiap elemen punya peran vital dalam memajukan pendidikan nasional. Satu pemahaman bersama bahwa pendidikan adalah suatu hal berharga yang menjadi kebutuhan setiap orang. Banyak yang bisa kita peroleh atas pendidikan dan tak cukup orang-orang tertentu saja yang menaruh perhatian terhadap kemajuan pendidikan bangsa ini, tetapi keseluruhan dari kita ikut andil di dalamnya. Tentu ini suatu hal positif yang menjadi orientasi mengapa setiap orang perlu belajar untuk mendidik dan terdidik.
Ada banyak hal yang bisa kita cermati kenapa akhirnya bangsa ini belum mampu memperoleh prestasi membanggakan dalam dunia pendidikan. Mutu pendidikan di negeri ini memang perlu ditingkatkan terkait banyaknya faktor yang melandasi gagalnya optimasi arah gerak pendidikan nasional. Tingginya angka kemiskinan menjadi sorotan utama kurangnya accesment terhadap kebutuhan pendidikan untuk kalangan menengah ke bawah. Bukankah negara seharusnya menjamin setiap hak rakyat untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran secara berkeadilan ? Padahal masyarakat adalah elemen penting dalam roda pemerintahan. Pemerintah melalui lembaga yang representatif sepatutnya mampu mengiringi perubahan yang signifikan dalam dinamika masyarakat, khususnya untuk pemerataan pendidikan bagi kaum-kaum pingiran atau akar rumput.
Agaknya telah timbul gap yang cukup besar antara lapisan masyarakat. Kini layaknya pendidikan dinilai dengan uang. Akar rumput seperti tak berhak memperoleh hak berpendidikan tinggi. Sedangkan golongan yang “mampu” pun celakanya semakin terbuai dengan pendidikannya. Mereka tak dapat menggunakan statusnya sebagai orang yang terdidik dan berintelektual untuk membantu memperjuangkan nasib rakyat kecil yang makin dahaga akan hidup yang layak. Kalaupun ada itu hanya sebagian kecil dan belum tampak upaya konkrit yang ideal untuk menjembatani problematika tersebut.
Siapa sebenarnya pelaku utama dalam pendidikan ? Tentu “mereka” yang berjuang demi kemajuan pendidikan itu sendiri. Pelajar, orang tua, guru, masyarakat, dan pemerintah adalah komponen subyek sekaligus obyek vital dalam pendidikan. Mengapa mereka saya sebut subyek maupun obyek? Jelas karena pendidikan itu dilaksanakan dari mereka, oleh mereka, dan untuk mereka sendiri. Inilah alasan mengapa pendidikan harus dilaksanakan secara berkeadilan dan demokratis, serta berilham pada nilai-nilai Pancasila.
Masyarakat dapat mempengaruhi arah gerak pendidikan. Dengan kebersamaan yang dibangun, masyarakat mampu ikut berkontribusi dalam roda pendidikan bangsa. Baik dana ataupun hanya sekedar pemikiran dan tenaga sudah cukup membantu membentuk kultur pendidikan yang harmonis. Sekolah pun dapat saling menyokong kultur masyarakat dengan menciptakan kurikulum pengajaran aplikatif yang membuat masyrakat cukup interest . Selanjutnya adalah bagaimana memberdayakan masyarakat melalui sarana yang tepat karena hal itu berarti juga merubah cara pandang masyarakat terhadap kultur pendidikan. Langkah yang selaras dengan sistem, atribut, maupun tiap fungsi elemen pendidikan sangat dibutuhkan.
Pelajar atau anak didik kita merupakan aset bangsa yang berharga, layaknya intan berlian yang sungguh tak ternilai harganya setelah digosok dengan cara yang benar. Lantas kemudian saya menyebut pelaku pendidikan lainnya sebagai “alat” untuk menjadikan bongkahan batu biasa tersebut menjadi intan berlian yang berkilau. Inilah tantangan yang harus dipecahkan, bagaimana setiap orang menganggap bahwa pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang vital untuk diperoleh.
Orang tua dan masyarakat dapat terlibat aktif dalam pengawasan pendidikan anak-anak mereka. Orang tua memberikan pengajaran dan pendidikan akhlak sejak dini di lingkungan keluarga (internal), sedangkan masyarakat berperan di lingkungan luarnya (eksternal). Tidak cukup hanya mengandalkan tenaga pengajar resmi di sekolah untuk membentuk kepribadian yang bermoral, tapi setiap elemen harus mampu menyuplai rangsangan-rangsangan positif untuk anak didik. Baik pendidikan formal maupun non formal adalah sama penting, manakala kita berbicara tentang substansi pendidikan itu sendiri. Pendidikan formal identik dengan sekolah, sedangkan pendidikan non formal bisa didaptkan lewat pesantren atau semacamnya. Keduanya dapat berimprovisasi dengan cara pembelajaran yang solutif dengan dukungan media yang representatif, baik cetak maupun elektronik.
Pemerintah melalui Dewan perwakilan Rakyat ataupun Kementrian Pendidikan Nasional diharapkan mampu menjawab setiap tantangan perkembangan dunia pendidikan. Dinamika sistem yang begitu fluktuatif harus dapat diimbangi dengan penerapan kebijakan yang tepat. Di sini lah pentingnya komunikasi efektif antar banyak pihak, sehingga menciptakan iklim pendidikan yang kondusif. Sudah banyak evaluasi yang dilakukan terkait penerapan arah kebijakan pendidikan nasional, tapi hasilnya hanya menguap begitu saja tanpa dibarengi upaya konkrit yang jelas.
Selain persoalan sistem pendidikan, citra guru dan arah kebijakan tersebut, perbaikan moral anak didik juga perlu menjadi sorotan utama. Pasalnya saat ini marak kita dengar maupun kita lihat bentuk-bentuk tindakan negatif pelajar yang merugikan dirinya sendiri maupun orang lain, seperti tawuran; miras; penggunaan obat-obat terlarang; hingga budaya free sex yang memprihatinkan. Lantas dapat kita simpulkan bahwa kegagalan sistem pendidikan ikut berperan dalam pembentukan karakter anak didik kita. Kegagalan produk tentunya berasal dari kesalahan proses maupun rendahnya mutu bahan baku. Sungguh kita terlalu terlena dengan keadaan saat ini, padahal mestinya kita jauh lebih prihatin melihat semakin buramnya masa depan anak bangsa ini ke depan. Sejatinya pendidikan moral dan karakter harus lebih ditingkatkan untuk menanggulangi krisis moral dan kepribadian tersebut.
Pendidikan karakter punya peran penting dalam menguatkan kepribadian anak didik. Banyak institusi pendidikan maupun pakar pendidikan berpendapat sama. Dewasa ini Menteri Pendidikan Nasional, Muhammad Nuh menyatakan akan terus menguatkan pendidikan karakter bagi pelajar Indonesia. Bentuk pendidikan ini akan diimplementasikan pada kegiatan akademik maupun non akademik seperti kegiatan ekstrakulikuler. Memang sewajarnya pendidikan karakter ini diarahkan sejak anak usia dini dan terpusat di lingkungan keluarga. Namun, menilik dinamika sistem pendidikan Indonesia saat ini, hal tersebut akan lebih baik bila diupayakan oleh banyak pihak, tidak hanya orang tua dan masyarakat tertentu. Implementasinya adalah pada pengembangan kecerdasan emosional anak didik, sehingga dapat meminimalisir bentuk-bentuk penyimpangan moral dan contoh perilaku negatif lainnya.
Beberapa penelitian bermunculan untuk menjawab urgensi pendidikan karakter ini. Dalam ringkasan beberapa penemuan peneliti dan pengamat pendidikan yang dilansir oleh sebuah buletin terbitan Character Education Partnership, diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menunjukan adanya peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademiknya. Lebih jauh, menurut Thomas Lickona, pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action).
Hal ini tampaknya sejalan dengan aspek afektif dalam nilai-nilai pancasila yang telah lama terlupakan. Pendidikan karakter ini merupakan satu dari sekian solusi yang bisa ditawarkan untuk pembenahan moral anak didik kita. Daniel Goleman juga berpendapat bahwa ternyata 80 persen keberhasilan seseorang di masyarakat dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Kecerdasan emosional anak memberikan motivasi internal untuk meningkatkan semangat belajar dan berempati dengan sesama. Mereka yang berperilaku positif, serta mampu beradaptasi dengan baik akan mempunyai tingkat percaya diri dan semangat belajar yang lebih, sehingga mendorong mereka untuk mengorientasikan masa depannya dengan lebih bijak.
Pembenahan cara pengajaran juga menjadi ikhwal penting suksesnya pendidikan. Pengajaran konvensional di dalam kelas perlu dirubah karna kegiatan belajar-mengajar tak cukup dilakukan hanya di kelas. Ilmu juga bisa digali dari lingkungan sekitar dengan manfaat yang lebih kompleks dan variatif. Metode pembelajaran yang tepat tak selamanya berdasarkan text book semata, tetapi juga dari berbagai media lainnya, baik cetak maupun elektronik. Berkembangnya teknologi turut mendukung kemajuan pendidikan dan menjadikannya lebih fleksibel diajarkan kapan pun dan di mana pun. Internet sebagai contoh telah beralih menjadi kultur baru dalam ranah kehidupan manusia. Kemajuan teknologi ini sangat membantu untuk memperkaya informasi dan ilmu selama dipergunakan secara tepat dan positif. Hal ini akan meminimalisir segala dampak negatif terhadap kepribadian anak didik. Maka sejatinya, karakter dan kultur yang baik perlu dibangun sejak dini sebagai benteng pertahanan diri yang kokoh terhadap arus globalisasi.
Dinamika kurikulum pengajaran yang ada memang menyesuaikan dengan perubahan dan problematika yang belum tuntas. Sistem-sistem yang terdahulu diaanggap sudah tidak mampu lagi menjawab tantangan tersebut, maka pendidikan alternatif yang lebih fresh semakin dilirik untuk menuju perbaikan. Koreksi dini serta pembenahan metode juga perlu ditunjang pemahaman yang dinamis untuk meningkatkan prestice sekolah demi mengembangkan standar kualifikasinya.
Ada banyak rintisan sekolah yang terus berkembang dengan sistem-sistem yang baru. Sebut saja untuk tingkatan SMP sudah rintisan standar nasional dan tingkatan SMA dengan rintisan taraf internasional. Di sinilah peran aktif siswa mulai terlihat meningkat. Kelas-kelas yang dulu lengang kini beralih riuh oleh celoteh-celoteh group discussion di kelas. Bahkan, siswa sekarang bisa menjadi tentor untuk teman sebayanya. Merintis pendidikan yang berkualitas memang harus menyentuh semua aspek vital. Dengan peningkatan grade sekolah, siswa juga akan terpacu untuk menjadi salah satu kebanggan sekolahnya di mana mereka akan lebih termotivasi untuk mengembangkan potensi dan prestasi belajarnya sesuai arahan kurikulum terbaru.
Ekspektasi ini memang cukup terasa dengan intensitas penggunaan bahasa asing yang ditingkatkan dalam kurikulum baru. Guru tak hanya sekedar “buku berjalan”, melainkan sebagai fasilitator sekaligus motivator dalam pengembangan diri anak didik. Kompleksitas permasalahan yang ada memang menuntut kesiapan para stake holder untuk menerapkan kebijakan yang tepat. Pihak sekolah dapat mengakomodir kebutuhan anak didik melalui pendidikan karakter dalam mata pelajaran maupun memfasilitasi mereka dengan berbagai bentuk kegiatan siswa yang positif seperti ekstrakulikuler maupun organisasi siswa. Dan pemerintah dapat menunjang hal tersebut dengan pengalokasian hibah insentif untuk siswa-siswa berprestasi.
Tampak di sini bagaimana peran setiap pelaku pendidikan diperlukan untuk saling melengkapi satu sama lain. Memang pada dasarnya kunci keberhasilan terletak pada sirkulasi sistem yang ideal. Tanpa hasil positif di awal, selanjutnya pun akan semakin memperburuk keadaaan jika tak dapat berbenah segera. Guru dapat mengambil alih peran orang tua di sekolah, dan orang tua dapat mengambil alih peran guru di rumah. Begitu pula dengan masyarakat dan pemerintah di lingkungan eksternalnya.
Bicara soal orientasi pendidikan, perlu diingat bahwa anak didik merupakan subyek penting yang harus diarahkan. Guru atau fasilitator dapat berinovasi dalam kegiatan belajar-mengajar. Ide-ide kreatif dapat menunjang motivasi anak didik untuk terus giat belajar dan menggali potensinya. Peran setiap elemen harus dioptimalkan menyusul arah kebijakan dan sistem pendidikan yang efektif, efisien, dan ideal. Secara komprehensif pendidikan melibatkan seluruh aspek penting dalam pengembangan saraf motorik, kepribadian, maupun kecerdasan kognitif anak didik. Namun, semua itu butuh dukungan tepat dari keseluruhan aspek, baik intenal maupun eksternal. Karena sekali lagi berbicara tentang pendidikan tak hanya cukup terkait subyek dan obyek pendidikan semata, tetapi juga daya dukung lingkungan dan kerangka sistem pendidikan yang baik.
Banyak akar permasalahan yang belum tuntas terselesaikan. Dengan beragam problematika dan dilematika pendidikan bangsa ini, tugas kita lah sebagai bagian bangsa Indonesia untuk berjuang bersama sebagai elemen pendidikan yang solutif. Tidak ada manfaatnya saling menyalahkan, karena kini saaatnya berbenah bersama. Satu tangan akan terasa berat daripada sejuta tangan yang tergenggam erat dalam satu tekad untuk pendidikan Indonesia yang lebih baik.



REFERENSI WACANA


(http://pondokibu.com/parenting/pendidikan-psikologi-anak/dampak-pendidikan-karakter-terhadap-akademi-anak/)
www.wikipedia.com
http://aksiguru.org/2011/02/22/dilematis-citra-guru-dan-mutu-pendidikan-nasional-2/
http://www.facebook.com/pages/Rublik-Opini/139592279390546
http://suhadinet.wordpress.com/2008/12/19/peran-serta-masyarakat-psm-terhadap-pendidikan/
Koran TEMPO edisi Minggu, 1 Mei 2011

5 komentar:

  1. saya share ya bang... d radio kampus

    BalasHapus
  2. terusken sodaraku, bangsa ini memang harus dididik untuk menjadi bangsa yang besar tanpa melupakan jati dirinya

    BalasHapus
  3. Artikel yang penuh inspirasi.
    hebat
    salam sukses selalu brother

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus