Jumat, 09 Desember 2011

“MENGENAL LEBIH DEKAT KEARIFAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN KAINDEA DI PULAU WANGI-WANGI, KABUPATEN WAKATOBI, SULAWESI TENGGARA”

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara agraris yang subur nan kaya sumber daya alam. Begitu pula dengan potensi hutan yang melimpah dan diperkirakan menempati posisi kedua terbesar di dunia. Luas kawasan hutan tropis Indonesia mencapai 144 juta hektar, atau sekitar 74 % dari luas daratan Indonesia sendiri. Namun demikian, sejak tiga dasa warsa terakhir ini luas kawasan hutan tropis Indonesia semakin berkurang dari tahun ke tahun, karena mengalami degradasi dan deforestasi yang sangat serius akibat eksploitasi besar-besaran. Luas kerusakan hutan tropis Indonesia menurut laporan terkini disinyalir mencapai 1,7 juta hektar per tahun (Departemen Kehutanan, 2000).
Implikasi dari eksploitasi hutan secara tak terkendali di Indonesia, tidak hanya sebatas semakin menipisnya jumlah tegakan kayu yang bernilai ekonomi tinggi untuk pendapatan/devisa negara (economical loss), tetapi juga Indonesia kehilangan kekayaan keanekaragaman hayati (flora dan fauna) dan kerusakan alam (ecological loss), dan lebih dari itu adalah pengabaian/penggusuran hak-hak masyarakat adat/lokal serta marjinalisasi tatanan sosial dan budaya masyarakat (social and cultural loss), yang tidak pernah diperhitungkan sebagai ongkos ekonomi, ekologi, dan ongkos sosial-budaya yang harus dikorbankan untuk pembangunan (cost of development).
Kegiatan pembangunan yang diorientasikan semata-mata untuk mengejar pertumbuhan ekonomi (economic development) harus dibayar sangat mahal dengan penimbulan korban-korban pembangunan (victims of development). Karena selain merusak sumber daya alam dan lingkungan hidup, menguras sumber-sumber kehidupan masyarakat adat/lokal, juga dalam implementasinya telah menggusur hak-hak masyarakat adat/lokal atas penguasaan dan pemanfaatan sumber daya hutan, serta mengabaikan kemajemukan hukum (legal pluralism) yang hidup dan berkembang dalam masyarakat (Nurjaya, 2001).
Isu tentang pentingnya kembali kepada kearifan lokal (local wisdom) dalam pengelolaan sumber daya alam dewasa ini semakin marak dilakukan baik itu di kalangan akademisi, praktisi, hingga masyarakat awam. Hal ini sangat terkait dengan paradigma Pembangunan Berkelanjutan yang disadari akan berdampak secara komprehensif untuk stabilitas negara. Menilik dari peran dan posisi masyarakat adat, pembangunan kini diarahkan untuk dapat mengakomodir kepentingan setiap elemen, termasuk di dalamnya menjaga keberlangsungan hidup masyarakat adat serta melestarikan nilai-nilai kearifan lokal yang ada.


KAJIAN STUDI

Pulau Wangi-Wangi merupakan pulau-pulau kecil dengan luas 152,9 km2 dengan jumlah penduduk 48.083 jiwa (Statistik Wakatobi 2007). Daerah ini memiliki potensi alam serta budaya yang proporsional. Dengan pemahaman alam yang baik, serta kultur yang mendukung dalam pengelolaan sumber daya hutan, masyarakat sekitar konsisten mempertahankan kehidupan harmonis bersama alam yang berorientasi pada fungsi sosial dan ekologis.
Hutan (Motokau) di Pulau Wangi-Wangi terbagi atas dua bagian besar, yaitu Kaindea dan Motika. Nilai-nilai kearifan lokal masih kental dijumpai di beberapa wilayah adat (Kadie). Sebagai contoh adalah dua wilayah adat (Kadie), yaitu di Mandati dan Wanci yang mempunyai hutan adat (Kaindea).
Kaindea adalah hutan yang sengaja dibangun masyarakat selama ratusan tahun. Sistem kepemilikan dan pengelolaannya oleh komunal (adat atau keluarga). Dalam pemanfaatannya tidak dapat dikonversi atau diambil kayu kecuali hasil hutan non-kayu dengan izin selektif pemiliknya. Kaindea merupakan hutan yang sengaja ditanam oleh masyarakat adat sebagai tempat pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat jika terjadi kondisi paceklik, penguatan hubungan sosial dan berfungsi lindung. Solum tanahnya sangat dalam dan berwarna hitam. Awalnya, tanaman di Kaindea adalah pohon seperti kenari, enau, mangga dan bambu, sedangkan tanaman pangan adalah umbi-umbian. Semua Kaindea merupakan milik dan dikelola Sara terutama yang berkaitan dengan fungsi Kaindea agar tetap lestari. Awal abad ke-20, status kepemilikan Kaindea u‘sara sebagian diserahkan ke keluarga menjadi Kaindea u’santuha sebagai balas jasa atas pengabdian kepada masyarakat adat.
Berdasarkan status kepemilikan dan pengelolaan, hutan Kaindea dibagi atas dua, yaitu Kaindea u‘sara (hutan milik adat) dan Kaindea u’santuha (hutan milik keluarga). “Kaindea u‘sara” merupakan bentuk pengelolaan kawasan hutan yang dilakukan oleh adat. Sara melalui perangkat adat akan mengawasi dan mengelola Kaindea sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Kawasan ini saat ini mulai banyak mengalami tekanan khususnya pada Kaindea u’sara di wilayah Adat Wanci. Hal ini disebabkan karena sejak perubahan sistem Sara ke sistem pemerintahan desa perangkat Sara tidak dipakai dan diganti dengan sistem desa. Pada wilayah Adat Mandati, penggantian sistem pemerintahan ke desa tidak menimbulkan masalah dalam pengelolaan Kaindea, karena kepala desa masih turunan Sara (Meantu’u) dan fungsi Meantu’u Agama dijalankan oleh imam mesjid dan khatib merangkap pegawai pencatat perkawinan. Kontrol sumberdaya tetap dijalankan sesuai dengan aturan adat, sedangkan urusan kemasyarakat mengacu kepada aturan desa. Dalam berbagai kasus penyelesaian secara adat oleh kepala desa jauh lebih efektif dibandingkan dengan penyelesaian formal. Walaupun Sara saat ini hanya Sara Agama namun secara secara fungsional memiliki hak mengelola hutan dengan berkoordinasi dengan kepala desa dan keluarga pemangku adat (Santuha). Penegakkan hukum adat umumnya sanksi sosial (moral) atau sanksi yang diberikan oleh pemerintah desa dan Sara Agama.
Pada Kaindea u’santuha pengelolaannya diserahkan kepada komunal atau rumpun keluarga tertentu. Sara memberikan hak tersebut kepada keluarga tertentu yang memiliki jasa penting dalam menyelamatkan negeri atau berperan dalam pembangunan sosial kemasyarakat atau mantan pejabat adat (Yaro). Pemberian kawasan tersebut didasarkan pada hasil keputusan Sara dan merupakan bentuk rasa terima kasih. Ada juga pengalihan kepemilikan karena permintaan suatu keluarga kepada Sara untuk mengolah hasil Kaindea, namun akhirnya diklaim sebagai milik keluarganya. Pada beberapa tempat, masyarakat atau keluarga sangat berhati-hati dalam melakukan pemungutan hasil hutan. Demikian pula menebang atau mengkonversi hutan atau lahan karena dikontrol ketat oleh masyarakat. Dipercaya bahwa kalau ada upaya konversi akan dikenai sangsi sosial dan pada Kaindea u’sara.
Tanaman di Kaindea merupakan tanaman kehutanan yang mempunyai nilai penting untuk kebutuhan hidup masyarakat dan untuk konservasi. Awalnya Kaindea merupakan lahan subur dengan tanaman utama kenari, enau, mangga, bambu. Sekarang berbagai macam vegetasi yang didominasi pohon. Posisi Kaindea berada di tengah atau dikelilingi kebun masyarakat, sehingga fungsi ekologis Kaindea memungkinkan untuk dimanfaatkan dalam rangka kesuburan tanah, ketersediaan air dan penciptaan iklim mikro (Pamoninia u’togo). Antara Kaindea dengan kebun masyarakat di batasi oleh kawasan penyangga yaitu rumpun tanaman bambu dengan jarak sekitar 15 meter, agar kawasan Kaindea tidak dirambah.
Hutan Kaindea merupakan alternatif bagi pemangku adat untuk memenuhi kebutuhan pangan (Sowoa u’sara). Secara ekologi hutan diartikan sebagai media konservasi tanah dan air yang berguna bagi kesuburan lahan sekitar kebun dan sebagai penyedia air terutama pada musim kemarau, serta tempat habitat beberapa burung yang langka (Uranga u’kadadi). Masyarakat Wangi-Wangi, khususnya di Mandati percaya bahwa Kaindea merupakan sarana untuk menegaskan kondisi sosial dan hubungan kekerabatan sehingga harus dijaga. Sebaliknya dengan merosotnya Kaindea akan mengancam kesuburan lahan dan ketersediaan air sehingga merusak sistem ekologi, sosial-ekonomi dan budaya. Pandangan tersebut menyatakan bahwa siapa (individu) yang merusak hutan akan mendapat gelar sosial sebagai ”Mia dhao” (orang rusak).
Dalam Kaindea tidak diperbolehkan menebang kayu kecuali mengambil hasil hutan non-kayu seperti air enau (nira), buah, umbi, rebug bambu atau untuk kebutuhan pangan. Sementara pada penebangan kayu dalam kawasan hutan Motika diperbolehkan atas seizin Sara dan sepanjang hanya memenuhi peraturan yang ditetapkan sebagai berikut : (1) kebutuhan pribadi yang diberikan untuk perangkat penting bangunan rumah atau kapal layar mencari ikan jika mereka adalah orang miskin. Namun izin untuk orang yang tidak mampu dilihat pada jasa dan tingkah lakunya dalam masyarakat. Jika berjasa dan tingkah lakunya baik maka akan dizinkan; (2) kebutuhan umum, seperti pembangunan rumah jabatan, Kamali, Baruga, perahu layar kecil (Londe) dan sebagainya; dan (3) untuk kebutuhan kayu pada upacara adat dan ternyata di hutan Motika tidak tersedia, maka dapat dicarikan di hutan Kaindea atas sepengetahuan Sara Wati untuk disampikan secara berjenjang ke Meantu’u untuk mendapatkan persetujuan.
Sara dapat menentukan zona mana yang manfaatkan dan berapa jumlah pohon sesuai permohonan individu yang berkepentingan dengan pohon tersebut. Jika ada kebutuhan yang mendesak dan yang akan diambil sedikit maka yang bersangkutan harus (1) membunyikan Kalong-kalong (semacam kentongan); dan (2) jika alat tersebut tidak ada disekitarnya maka terlebih dahulu menyimpan topi atau baju atau barang lain yang mudah diidentifikasi. Selanjutnya barang tersebut disimpan di atas kayu setinggi badan yang ditancapkan khusus pada pintu masuk. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka akan diberi sanksi yaitu barang yang diambil akan disita.
Kegiatan mengkonversi Kaindea sama sekali tidak diperkenankan. Semua lahan khususnya dalam wilayah adat di Mandati telah dizonasi peruntukkannya. Untuk kepentingan umum telah dicadangkan hutan Motika untuk diambil hasil kayunya, kecuali pada kepentingan adat yang mendesak, hutan Kaindea dapat diambil kayunya secara sangat terbatas. Sanksi diberikan jika terjadi pelanggaran pada aturan pengelolaan sumberdaya atau pelanggaran etika/norma dalam masyarakat. Sanksi yang diberikan Sara berbeda tergantung pada besar kecil dan substansi pelanggaran tanpa membedakan status sosial dalam masyarakat.






ANALISIS

Melihat kondisi bahwa kemunduran arah pengelolaan hutan hingga menjadikan merosotnya luasan hutan kini sungguh sangat memprihatinkan. Degradasi hutan yang tak terkendali sudah selayaknya mendapat sorotan lebih. Rekonstruksi kebijakan dan strategi pengelolaan yang efektif perlu segera dilaksanakan. Pembenahan yang komprehensif di segala lini harus didukung kemampuan mengkombinasikan tiap fungsi elemen yang vital.
Sajian fakta menarik seputar hutan Kaindea yang erat dengan nilai kultur dan kearifan lokal masyarakat setempat patut kita acungi jempol. Masyarakat adat terbukti mampu memberikan contoh konkrit pelaksanaan pengelolaan hutan yang sustainable. Kehidupan yang harmonis antara alam dan manusia dipraktikkan di sini. Tak hanya mampu meminta, tapi juga memberi. Sungguh mereka telah benar-benar belajar bagaimana hidup bersama alam.
Namun, satu permasalahan yang belum tuntas terselesaikan adalah bahwa pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat adat masih minim. Berbagai polemik muncul terkait kebijakan yang dekonstruktif. Pembangunan yang berorientasi ekonomi semata rentan mengakibatkan perusakan sumber daya hutan. Hal ini tentunya turut mempengaruhi keberadaan masyarakat adat di dalamnya.
Sejatinya masyarakat adat adalah elemen penting dalam pengelolaan hutan lestari. Dengan kearifan lokal dan nilai-nilai budaya yang dimiliki, mereka telah hidup sebagai konservasionis sejati. Pola pemanfaatan lahan dan sumber daya hutan yang ideal harus mampu didukung oleh kesadaran untuk menjaganya, dan masyarakat adat mampu membuktikannya.
Hutan Kaindea merupakan sebagian kecil contoh pengelolaan hutan yang beorientasikan pada nilai-nilai sosial budaya dan ekologi. Indonesia dengan beragam suku budaya tentunya sangat berpotensi dengan fungsi kearifan lokal yang dimiliki masyarakat adat. Dengan tradisi dan pola pengelolaan yang arif, hutan Indonesia akan semakin terjaga kelestariannya.
Kapasitas budaya dalam ranah kehidupan masyarakat adat merupakan modal sosial yang tak ternilai dan wajib diperhitungkan dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Dalam konteks pengelolaan sumber daya hutan, modal sosial dalam wujud etika, religi, kearifan lingkungan, dan norma-norma hukum lokal (folk/customary/ adat law) merupakan kekayaan budaya yang harus diperhitungkan, didayagunakan, dan diakomodasi dalam pembuatan kebijakan dan pembentukan hukum negara (state law) mengenai pengelolaan sumber daya alam.
Dalam konteks ekologi kita tahu bahwa keseimbangan alam saling berkaitan dengan interaksi makhluk hidup, khususnya manusia. Manusia melalui pemahaman alam yang multikultur akan membentuk karakter hidup yang berkesinambungan terhadap lingkungan sekitarnya. Layaknya masyarakat adat yang hidup selaras dengan nilai dan norma yang mereka buat sendiri untuk berdampingan dengan alam tinggalnya.
Meskipun kehidupan masyarakat adat sering tampak tidak rasional, bersifat mistis, dan konvensional, tetapi mereka memiliki kebudayaan yang layak kita telaah maknanya lebih jauh. Faktanya, masyarakat adat tersebut mampu menciptakan sikap dan perilaku manusia yang serba religius dan magis terhadap lingkungannya, dalam bentuk praktik-praktik pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang bijaksana dan bertanggungjawab. Inilah esensi dan ekspresi dari kearifan masyarakat hukum adat terhadap lingkungan hidupnya.
Kearifan lingkungan masyarakat adat pada hakikatnya berpangkal dari sistem nilai dan religi yang dianut dalam komunitasnya. Ajaran agama dan kepercayaan masyarakat lokal menjiwai dan memberi warna serta mempengaruhi citra lingkungannya dalam wujud sikap dan perilaku terhadap lingkungannya. Hakikat yang terkandung di dalamnya adalah memberi tuntunan kepada manusia untuk berperilaku yang serasi dan selaras dengan irama alam semesta, sehingga tercipta keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya.
Esensi ekologis ternyata masih dipertahankan oleh sebagian kecil komunitas adat yang tersebar di berbagai pelosok hutan Indonesia. Dengan segala keterbatasan hidup mereka justru dapat memaknai fungsi alam sebagaimana mestinya. Pembelajaran yang berharga ini tampak dalam contoh praktik pengelolaan hutan kaindea di Pulau Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara oleh masyarakat adat di atas.
Satu pemahaman bersama bahwa keberlanjutan kehidupan masyarakat adat merupakan tanggung jawab kita semua. Pemerintah bersama stake holder perlu mendapat kontrol kritis terkait kebijakan dan aturan perundang-undangan lain yang dilaksanakan. Masyarakat adat selama ini hanya menjadi korban kepentingan sempit. Oleh karena itu perlu dibangun komunikasi efektif dan arah gerak pengelolaan hutan yang ideal untuk menjembatani seluruh kepentingan demi menjaga nilai-nilai kearifan lokal, serta hak-hak masyarakat adat.




DAFTAR PUSTAKA
Abdullah T. 1995. Sejarah Lokal di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Akhmad 2005. Amber dan Komin. Studi Perubahan Ekonomi di Papua. Bigraf Publishing. Yogyakarta. 157 hlm.
Awang SA. 2004. Dekontsruksi Sosial Forestri: Reposisi Masyarakat dan Keadilan Lingkungan. BIGRAF Publishing. Yogyakarta. 193 hlm.
http:// anoa.unhalu.ac.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar