Jumat, 09 Desember 2011

SOCIAL FORESTRY SEBAGAI STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN KEKINIAN

SOCIAL FORESTRY SEBAGAI STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN KEKINIAN

Hutan dan manusia merupakan satu kesatuan dalam kehidupan, di mana keduanya merupakan komponen yang tak terpisahkan dalam ekosistem biosfer. Hutan memberikan berbagai sumber kehidupan bagi manusia dan manusia memanfaatkannya untuk menunjang kebutuhan hidupnya. Dengan tipikal geografis dan iklim yang menaunginya, Indonesia menjadi salah satu wilayah tropis nan subur dengan berbagi kekayaan sumber daya hutan. Potensi ini merupakan nilai positif untuk bisa dikembangkan dan dikelola secara efektif dan optimal untuk kesejahteraan rakyat.
Dalam ekologi dikenal bagaimana manusia hidup sinergis dengan alam. Pola pemanfaatan sumber daya hutan yang efektif dan ramah lingkungan merupakan nilai hidup yang dijunjung tinggi. Namun, perkembangan global menuntut dinamika kebutuhan pangan manusia. Luasan hutan yang besar semakin lama tak mampu menyokong besarnya tingkat kebutuhan manusia. Maka dampak yang terlihat adalah berbagai bentuk degradasi lahan hutan dan kerusakan alam akibat ketimpangan kepentingan dan ketidakseimbangan pembagian hasil oleh pemerintah terhadap masyarakat desa hutan.
Banyak langkah yang dikerjakan pemerintah untuk mempertahankan fungsi hutan sebagaimana mestinya. Pola perkembangan sistem kelola hutan mulai dari Timber extraction, timber management, forest resource management, forest ecosystem management, hingga konsep social forestry merupakan dinamika hasil pemikiran dan strategi pengelolaan hutan secara lestari. Namun, orientasi ekonomi yang menjadi patokan awal pengelolaan hutan sudah menjadi momok dalam realitas pelaksanaannya. Oleh karena itu, konsep baru yang diusung merupakan formulasi ideal bagaimana unsur sosial dan ekologi dimasukkan dalam perumusan rancangan kelola hutan kekinian. Dengan kata lain bahwa orientasi ekologis merupakan bentuk dasar kelola hutan yang paling ideal dengan tidak mengesampingkan unsur sosial di dalamnya.
Social Forestry merupakan pola pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Dalam sistem ini masyarakat dilibatkan untuk turut serta membangun hutan secara optimal. Social Forestry merupakan jawaban kegagalan sistem kelola hutan yang telah ada sebelumnya. Elemen masyarakat, terutama yang bermukim di sekitar hutan, diberdayakan peran dan fungsinyasecara optimal untuk menunjang pengeloaan huatan yang lestari.
Masalah sosial-ekonomi masyarakat kini merupakan prasyarat mendasar tercapainya kelestarian pengelolaan hutan. Kepentingan pengelolaan hutan ini mengarahkan kepada sistem kerja yang kompleks. Tak hanya aspek teknis saja yang diprioritaskan, tetapi juga aspek sosial yang produktif. Konsep ini lantas melahirkan sistem kerja yang mengacu pada aspek sosio-teknis. Bagaimanapun juga, teknik silvikultur yang baik belum menjamin terciptanya kualitas tegakan yang baik tanpa ada jaminan perlindungan dan keamanan oleh masyarakat desa hutan.


Pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) merupakan salah satu implementasi konsep Social Forestry, di mana tujuan pengelolaan ini berlaku untuk jangka panjang. Social forestry ini merupakan suatu alat pendekatan bagaimana kita bisa menyelesaikan konflik-konflik yang ada di daerah, pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat sekitar hutan, serta terjangkaunya semua kepentingan. Termasuk dalam hal ini adalah masyarakat adat, mengingat hal ini penting karena dalam UU No. 41/99 diatur bagaimana kita bisa memberdayakan masyarakat adat. Diakomodasikan kepentingan-kepentingan masyarakat adat dan bagaimana kita mengaplikasikan prinsip asas-asas social forestry ini ke dalam masyarakat adat.
Salah satu penyebab illegal logging oleh masyarakat adalah tidak tersedianya alternative sumber ekonomi yang memadai. Didasarkan pada kebutuhan hidup yang sulit terpenuhi, kegiatan negatif ini dilakukan karena terpaksa. Perimbangan kebutuhan yang tak sesuai dan cenderung paradox ini telah memicu banyaknya aktivitas perusakan sumber daya hutan. Konflik social yang terjadi tanpa kendali yang jelas akan berdampak lebih pada kemandegan structural organisasi pengelola hutan.
Kegiatan social forestry tidak terbatas di dalam hutan, melainkan seluruh upaya untuk membuat masyarakat sekitar hutan berdaya, sehingga mampu menjaga kelestarian hutannya. Hal tersebut misalnya dapat dilakukan dengan memfasilitasi terbangunnya unit-unit usaha kecil dan menengah (UKM) yang dapat digunakan sebagai alternatif pencaharian atau mata pencaharian yang tidak merusak bagi masyarakat yang selama ini hidupnya hanya tergantung dari sumberdaya hutan.
Kelembagaan dalam social forestry diperlukan untuk stabilisasi sistem kelola hutan. Dalam hutan rakyat contohnya, dibentuk Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) atau kelompok-kelompok tani sebagai pengelola teknis lahan hutan. Hutan rakyat sendiri dibangun atas tanah milik atau yang diserahkan pengelolaannya melalui kontrak tahunan. Pelaksanaannya biasanya menganut system tumpang sari, di mana masyarakat berhaka menanam tanaman pertanian di sela-sela tanaman pokok kehutanan. Model pengelolaan ini diharapkan mampu menjembatani masing-masing kepentingan, sehinga tercipta suasana yang harmonis antar banyak pihak.
Ada lima prinsip yang perlu ditekankan dalam pengembangan social forestry, yaitu membangun kapasitas masyarakat untuk berproduksi, memperkuat kapasitas dan kelembagaan masyarakat, membangun jaringan pemasaran baik untuk produk hutan atau non-hutan, meningkatkan nilai tambah produksi melalui pembangunan home-industri, dan peningkatan akses kredit perbankan. Masalah sosial-ekonomi masyarakat menjadi kunci utama terjaminya kelestarian hutan, dengan demikian social forestry perlu dijabarkan secara lebih leluasa, yang meliputi seluruh upaya pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan karena social foresty adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat, bukan sekedar pengusahaan hutan oleh masyarakat. Jadi jelas bahwa social forestry perlu diterapkan dalam strategi pengelolaan hutan kekinian agar terciptanya hutan yang lestari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar