Jumat, 09 Desember 2011

Paradoks Pengelolaan Hutan di Era Desentralisasi


Paradoks Pengelolaan Hutan di Era Desentralisasi



Dinamika Kehutanan di Era Orde Baru
Dewasa ini kondisi hutan di Indonesia semakin memprihatinkan. Isu meningkatnya laju degradasi hutan di Indonesia sudah menjadi fakta yang tak terbantahkan. Laju degradasi dan deforestasi hutan meningkat tajam seiring timbulnya berbagai konflik dan problematika dalam pengelolaan kehutanan nasional maupun lokal. Kerusakan hutan tropis Indonesia disinyalir mencapai 1,08 juta hektar per tahun (Departemen Kehutanan, 2008). Dampaknya luasan hutan Indonesia kini diperkirakan hanya tersisa sekitar 92,4 juta Ha, termasuk kawasan lindung dan konservasi yang masih terbelit masalah sengketa lahan serta konversi lahan. Perkembangan global terus menuntut peningkatan dan perkembangan kebutuhan hidup manusia, termasuk ketergantungan akan potensi sumber daya hutan (SDH). Padahal, luasan hutan yang terus berkurang semakin lama tak akan mampu menyokong besarnya tingkat kebutuhan manusia. Akibatnya, bentuk-bentuk kerusakan hutan oleh ulah manusia menjadi pemandangan yang “lumrah”.
Kondisi kehutanan Indonesia saat ini tak lepas dari pengaruh fenomena pengelolaan di masa lampau. Jika kita sepintas menilik sejarah, eksploitasi sumber daya hutan sebenarnya sudah dimulai sejak jaman penjajahan Belanda (era timber extraction) hingga mencapai fluktuasi di era orde baru. Hasil audit menunjukkan bahwa pengelolaan hutan di luar Jawa oleh HPH pada era orde baru menimbulkan kerusakan hutan 10 kali lebih cepat dibandingkan jaman penjajahan Belanda dulu. Era orde baru kental dengan politik penguasa dan korporatisme (Awang, 2003). Pengelolaan hutan yang sentralistik didukung oleh kebijakan yang top down telah mematikan kapasitas dan tatanan nilai sosial budaya masyarakat. Peralihan orde lama ke orde baru sekitar tahun 60-an juga meninggalkan banyak masalah ekonomi, terutama kemiskinan massal dan angka inflasi yang semakin tinggi. Kehutanan sebagai salah satu sektor penting turut menjadi sasaran penggemukan kas negara melalui sistem pengelolaan hutan yang sentralistik.
Kegiatan pembangunan yang sentralistik dan diorientasikan semata-mata untuk mengejar pertumbuhan ekonomi telah menimbulkan banyak korban. Pembangunan yang seharusnya diarahkan untuk dapat mengakomodir kepentingan setiap elemen, termasuk di dalamnya meningkatkan taraf hidup masyarakat  serta melestarikan nilai-nilai budaya yang ada, justru memperlihatkan kenyataan yang retrogresif. Begitu pula dengan arah kebijakan pengelolaan hutan yang bersifat dekonstruktif telah mengakibatkan bentuk-bentuk kemunduran, baik secara ekologis maupun sosial. Orientasi pembangunan hutan pada saat itu adalah semata-mata untuk menghasilkan devisa negara setingi-tingginya (engine of growth). Apalagi sejak dikeluarkannya UU Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 1968, semakin mendukung munculnya paradigma politik ekonomi sumberdaya hutan yang berdampak sistemik pada masa depan kehutanan Indonesia.
Dalam perjalanannya, paradigma politik ekonomi sumber daya hutan semakin merujuk pada kapitalisasi sumberdaya hutan. Adanya UU No.5/1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kehutanan juga belum mampu mengakomodir kepentingan kaum minoritas. Contoh cacatnya konstitusi di era orde baru ini adalah substansi Pasal 17 UU No.5/1967 dan Pasal 6 PP No.21/1970 tentang hak pengusahaan hutan dan pemungutan hasil hutan yang memfasilitasi timbulnya marginalisasi kepentingan dan hak masyarakat lokal. Lemahnya kebijakan di masa itu menunjukkan kepincangan dan turut menjadi suksesor kemunculan konflik-konflik sosial. Praktiknya semakin melanggengkan budaya kapitalis secara terstruktur dan sistemik. Perubahan paradigma pengelolaan kehutanan era orde baru ini baru berakhir setelah munculnya gagasan kehutanan masyarakat (community forestry) sejak tahun 1978 dan terus mengalami peningkatan di era reformasi (Awang, 2003).
Namun sisa-sisa kerusakan hutan era orde baru harus dibayar mahal dengan timbulnya berbagai problematika yang sistemik. Implikasi dari eksploitasi hutan secara tak terkendali menjadikan semakin menipisnya kualitas dan kuantitas kayu yang bernilai ekonomis tinggi sebagai devisa negara (economical loss). Dari segi ekologi, realita ini menambah nilai kerentanan akan nilai biodiversitas flora-fauna di Indonesia (ecological loss). Dampak lain yang tak pernah mampu diatasi adalah pemiskinan masyarakat akar rumput secara holistik akibat delegitimasi kelembagaan lokal, pengabaian hak-hak dan kepentingan masyarakat adat/lokal, serta marjinalisasi tatanan sosial dan budaya masyarakat (social and cultural loss) sebagai bagian dari pembangunan hutan yang sentralistik dan disorientatif.

Desentralisasi Pengelolaan Hutan
Sejak berlakunya konsep desentralisasi dalam konteks otonomi daerah (otoda), maka telah terjadi pergeseran paradigma dalam pengelolaan hutan, yakni state based management menjadi community based management. Implementasinya telah merubah kebijakan yang sentralistik dan top down menjadi desentralistik dan bottom up. Esensi penyelenggaraan otoda ialah mengakomodir fungsi dan peran elemen-elemen lokal dalam pembentukan daerah yang mandiri dan kompeten untuk mendukung pembangunan kehutanan nasional. Desentralisasi dan dekonsentrasi kekuasaan menjadikan aktor lokal, baik pemerintah daerah, organisasi social, maupun masyarakat sebagai balancer pemerintah pusat dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan pengelolaan hutan. Dekonsentrasi kewenangan pengaturan kehutanan di tingkat distrik dipegang oleh Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH). KPH sebagai institusi lokal pengelola hutan bergerak beriringan dengan pemerintah daerah dalam perumusan dan pengambilan kebijakan.
Desentralisasi pengelolaan hutan memiliki arti penting untuk peningkatan kapasitas organisasi pengelola hutan dan perbaikan mekanisme pembangunan hutan di tingkat lokal. Selain itu, peningkatan akses lokal terhadap potensi SDH akan menjamin pengelolaan hutan secara lebih efektif. Dalam otonomi daerah, kebijakan pengelolaan hutan oleh KPH, baik hutan produksi maupun hutan lindung didukung intervensi dari pemerintah daerah dan pusat dalam hal pengeluaran berbagai izin pemanfaatan kawasan hutan, seperti pengembangan kawasan wisata alam, pemberdayaan kapasitas sosial masyarakat ataupun pengelolaan lahan oleh swasta seperti HPH/IUPHHK di luar Jawa. Mekanisme semacam ini mendorong timbulnya trust dan kooperasi lintas sektor dalam upaya pelaksanaan cooperative forest management (pengelolaan hutan secara kooperatif/kolaboratif). Tujuannya jelas, bahwa implementasi desentralisasi diharapkan mampu membuka peluang demokrasi sebesar-besarnya dalam keseimbangan peran para aktor, baik pusat maupun daerah.
Urgensi desentralisasi pengelolaan kehutanan menurut Warsito (1999) dalam T.Yuwono & Wiyono (2008) adalah adanya perimbangan pendapatan, distribusi tanggung jawab, serta variasi teknis pengelolaan hutan yang memungkinkan pengelolaan berbasis local spesific. Tiga arahan pokok pelaksanaan otoda tersebut disinergikan untuk peningkatan produktivitas serta perbaikan sistem pengelolaan kehutanan kekinian. Pelaksanaan pengaturan kehutanan dalam konteks otonomi daerah dan desentralisasi kebijakan ini diatur dalam pasal 66 UU Kehutanan No.41/1999 mengenai pembagian kewenangan penyelenggaraan kehutanan, pasal 2 ayat 4 dan 5 mengenai hubungan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat dan daerah lainnya dalam urusan pemerintahan, serta pasal 17 ayat 1 dan 2 UU No.32/2004 mengenai hubungan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat dan daerah lainnya dalam pemanfaatan hasil SDA.
Implementasi otonomi daerah memberikan berbagai dampak positif bagi perkembangan daerah dan pengelolaan sumber daya hutan. Terbukanya akses daerah terisolasi akibat pembangunan infrastruktrur perusahaan kehutanan menyokong berkembangnya industri-industri lokal dan penyerapan tenaga kerja. Di samping itu, berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi kehutanan mendukung peningkatan produktivitas hasil hutan (terutama kayu) sebagai komoditas ekspor yang menyumbang devisa negara, serta meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Desentralisasi berpeluang menghapuskan hegemoni penguasa dan birokrasi terhadap masyarakat sipil (civil society). Proses ini selanjutnya mampu mengarah kepada rekonstruksi politik yang lebih demokratis. Praktik desentralisasi pengelolaan hutan merupakan bentuk empowering pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Adanya distribusi tanggung jawab terhadap kelola dan mutu SDH akan didukung peningkatan skil (keahlian) dan manajerial di tingkat lokal. Konsep desentralisasi membuka peluang komunikasi dan koordinasi lebih intensif antar multistakeholder. Perubahan paradigmatik akan diikuti oleh hilangnya dominasi elit politik dan lunturnya kesenjangan sosial. Selanjutnya, kebijakan dan konstitusi yang pro-otonom akan semakin mempertegas fungsi dan peran kelembagaan lokal menyusul runtuhnya korporatisme di era orde baru.
Kebijakan desentralisasi merepresentasikan urgensi pengelolaan kehutanan lokal sebagai bagian kehutanan nasional. Di tingkat distrik, pelaksanaan desentralisasi ini harus mampu diimplementasikan secara adaptif melalui pendekatan local specific. Kondisi ini penting mengingat banyaknya ragam potensi biofisik dan nilai budaya yang berkembang di tiap daerah. Kemajemukan wilayah suatu daerah sangat menentukan arah strategi pengelolaannya. Pemahaman terhadap karakteristik wilayah akan menunjang optimalisasi pengelolaan hutan di tingkat lokal. Kehutanan lokal sebagai buffer (penyangga) kehidupan masyarakat desa hutan perlu mendapat perhatian lebih dalam pengurusannya. Munculnya berbagai strategi pengelolaan hutan di tingkat lokal sejatinya merupakan upaya pemerintah daerah untuk menciptakan alternatif sumber PAD. Dalam konteks otonomi daerah, produktivitas daerah dalam memenuhi PAD akan berpengaruh terhadap prestice yang disandangnya. Selanjutnya, prestice  ini akan menentukan peluang pengembangan wilayah dan bargaining position nya di mata pusat.
Pengembangan arah pengelolaan kehutanan lokal mampu mendukung pembangunan daerah. Pelaksanaan desentralisasi kelola hutan berbasis local specific ini diarahkan untuk pengembangan potensi biofisik dan nilai budaya lokal sebagai aset yang berharga. Sebagaimana wilayah kelola KPH Bojonegoro yang memiliki potensi kekayaan mata air, catchment area, situs budaya, biodiversitas flora maupun fauna, serta kearifan lokal, dapat dikembangkan dan dikelola untuk investasi jangka panjang. Contohnya adalah pengelolaan kawasan wisata alam Hutan Dander yang ditandai dengan penandatanganan Memorandum Of Understanding (MoU) nomor 188/01/MOU/412.11/2009 dan 9/SI/DIR/2009 oleh Bupati Suyoto dan Direktur Utama (Dirut) Perum Perhutani Upik Rosalina. Selain itu, beberapa lokasi wisata alam lain yang cukup representatif turut disiapkan untuk pengembangan daerah dan sumber PAD. Lokasi tersebut di antaranya wisata hutan di Sekar, wisata minyak tradisonal di Kedewan, wisata watu jago (Margomulyo) dan wisata Kahyangan Api (Ngasem). Pengembangan potensi kehutanan lokal akan membuka pintu peluang manifestasi bagi investor-investor  domestik maupun asing. Dampak positif lainnya adalah terciptanya akses perkembangan perekonomian daerah dan peluang peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal.

Pembangunan Kapasitas Sosial dan Kelestarian Fungsi Hutan
Desentralisasi pengelolaan hutan mewujudkan perubahan paradigmatik terhadap pola pemanfaatan dan pengaturan hasil SDH. Keberlanjutan fungsi hutan menjadi modal berharga bagi pelaksanaan pembangunan daerah. Dalam konteks yang lebih luas, keberhasilan pembangunan daerah sebagai bagian dari pembangunan nasional harus memperhatikan kelestarian fungsi hutan. Tercapainya kelestarian fungsi hutan akan menjamin kesinambungan dan kesejahteraan hidup masyarakat sebagai tujuan pembangunan nasional. Praktik pemanfaatan SDH yang over exploitation memicu kerusakan ekosistem hutan dan berdampak sistemik terhadap keberhasilan pembangunan. Masyarakat lokal yang selalu menjadi “korban” pembangunan secara parsial sejatinya kurang mendapatkan perhatian pemerintah, baik pusat maupun daerah dalam pemerataan peran dan hasil pembangunan. Oleh karena itu, strategi pelaksanaan otoda idealnya diarahkan untuk tercapainya pemberdayaan kapasitas sosial masyarakat lokal. Kelestarian elemen sosial ini menjadi salah satu indikator keberhasilan pembangunan hutan secara lestari atau SFM (Sustainable Forest Management).
SFM merupakan konsep pengelolaan hutan yang mengakomodir fungsi kelestarian produksi, ekologi, dan sosial. Substansi SFM mengacu pada manajemen hutan yang terpadu dan berkesinambungan, baik terkait kelestarian hutan itu sendiri, kelestarian perusahaan pengelola, maupun kelestarian nilai-nilai sosial budaya masyarakat. Konsepsi SFM ini sebenarnya merupakan perkembangan paradigma social forestry (SF) atau kehutanan sosial yang diperkenalkan seorang ahli kehutanan Westoby untuk pertama kalinya pada tahun 1968 dan community forestry (CF) atau kehutanan masyarakat yang diperkenalkan FAO tahun 1978 (Awang, 2003). Implementasi SFM ini juga menjadi rujukan dalam konteks sertifikasi hutan lestari, di mana salah satu indikator penilaiannya adalah terjaminnya aspek sosial masyarakat sekitar hutan. Substansi konsep ini lebih lanjut cukup relevan dengan tujuan pembangunan, yaitu tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Maka dari itu, arah pengelolaan hutan lestari perlu didukung dengan upaya pembangunan kapasitas sosial budaya masyarakat.
Kearifan lokal (local wisdom) sejatinya merupakan salah satu modal sosial yang kontekstual dengan paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Dalam konteks pengelolaan sumber daya hutan, modal sosial dalam wujud etika, religi, kearifan lingkungan, dan norma-norma hukum lokal merupakan kekayaan budaya yang harus diperhitungkan, didayagunakan, dan diakomodasi dalam pembuatan kebijakan dan konstitusi mengenai pengelolaan sumber daya alam. Potensi inilah yang mendorong timbulnya perubahan paradigma pengelolaan kehutanan nasional. Munculnya paradigma Social Forestry dalam konteks pembangunan kehutanan berkelanjutan hakikatnya merupakan jawaban permasalahan pengelolaan hutan kekinian. Unsur-unsur sosial ekologi kini bukan sekedar kebutuhan sampingan yang pragmatis, tapi merupakan titik tolak tercapainya kelestarian hutan. Kapasitas budaya dalam ranah kehidupan masyarakat desa hutan merupakan modal sosial yang tak ternilai dan wajib diperhitungkan dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.
Untuk mengakomodir peran dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan hutan, maka muncul konsep PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) di Indonesia sejak tahun 2001. PHBM digalakkan dalam rangka mempertegas hak-hak masyarakat lokal. PHBM memberikan ruang yang lebih proporsional bagi partisipasi masyarakat (local participation). Pelibatan masyarakat secara aktif diakui dalam konteks pengelolaan hutan secara kolaboratif dan desentralistis. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan PHBM mencakup pengelolaan lahan hutan, rehabilitasi dan konservasi lahan, pemeliharaan hutan secara berkala, serta aktivitas yang berhubungan dengan kehutanan. Realitas ini mendorong munculnya lembaga-lembaga sosial semacam LMDH maupun koperasi rakyat yang memfasilitasi kepentingan masyarakat sekitarnya. Legitimasi kelembagaan lokal ini menjadi penting karena eksistensinya diharapkan mampu menjadi wadah kepentingan dan aktivitas masyarakat, serta forum komunikasi dan koordinasi antar stakeholder secara intensif dalam pengelolaan hutan yang partisipatif. Wujud PHBM ini lantas diimplementasikan ke dalam model kelola hutan rakyat, baik di hutan negara maupun lahan milik masyarakat desa hutan.
Hutan rakyat menggambarkan praktik pengelolaan hutan secara kolaboratif (co-management) dan terpadu dalam sistem agroforestry (umumnya tumpangsari) yang mengoptimalkan pemanfaatan lahan dan produktivitas hasil hutan (utamanya kayu). Bentuk pengelolaannya beorientasikan pada nilai-nilai sosial budaya dan ekologi yang mengakar kuat pada kehidupan masyarakat desa hutan. Contoh nyata praktik tumpangsari yang dilakukan di Dusun Jepang, Desa Margomulyo, Kecamatan Margomulyo patut diapresiasi. LMDH setempat menerapkan pola tumpangsari antara tanaman cabai dan umbi-umbian yang ditanam di sela-sela tegakan jati untuk pemanfaatan lahan secara terpadu. Kesadaran masyarakat Dusun Jepang  terhadap pentingnya menjaga kelestarian hutan tak lepas dari nilai kearifan lokal yang ada. Masyarakat Samin hidup bersama alam dan tradisinya untuk senantiasa menjaga kelestarian hutan dengan serangkaian kegiatan-kegiatan konservatif berupa penghijauan lahan, pemanfaatan hasil hutan secara konvensional dan sederhana, serta pembuatan sumber-sumber mata air untuk kebutuhan pertanian mereka. Gambaran fenomena di atas menunjukkan urgensi pembangunan kapasitas sosial (social capacity building) sebagai modal tercapainya pengelolaan hutan secara partisipatif, lestari, dan berkesinambungan.

Kontradiksi Praktik Desentralisasi
Pelaksanaan desentralisasi tak hanya menimbulkan dampak positif, tetapi juga rentan timbulnya dampak negatif. . Strategi pengelolaan kolaboratif antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ternyata masih berpotensi terjadi tumpang tindih kepentingan. Pelaksanaan otoda dalam rangka pengembangan wilayah belum mampu mengakomodir semua kepentingan, termasuk keadilan hak pemanfaatan hasil-hasil pembangunan. Euforia otoda yang tak terkendali menciptakan iklim persaingan politik yang kental. Politik pragmatis mengakibatkan potensi SDH dieksploitasi secara besar-besaran demi memenuhi PAD semata. Kepentingan sempit pemerintah daerah untuk memenuhi kas PAD bisa menggeser arah korupsi ke ranah daerah dan tak lagi ada perimbangan yang ideal antara pusat dan daerah. Konsekuensinya, Bupati tampil sebagai raja-raja kecil di daerah yang mempunyai hak absolut atas penguasaan SDH. Dalam kondisi semacam ini, substansi otoda justru memarginalkan kepentingan masyarakat.
Pengelolaan hutan secara desentralistik tak pernah lepas dari kemunculan berbagai konflik di lapangan. SDH sebagai tumpuan kehidupan masyarakat belum mampu diorganisir dengan baik oleh Perhutani, khususnya KPH sebagai organisasi pelaksana teknis tingkat distrik. Beberapa kontradiksi yang tampak pada otoda ini bisa dikaji dari substansi pasal 66 ayat 1 UU No.41/1999 : “dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, Pemerintah Pusat menyerahkan sebagian kewenangan kepada Pemerintah Daerah”, serta UU No.32/2004 dan UU No.33/2004 terkait Pemerintah Daerah dan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Kenyataannya, Pemerintah Pusat dianggap masih mendominasi pengambilan keputusan dalam pengelolaan hutan. Namun, di sisi lain ketika Pemerintah Daerah diberi kewenangan mengelola kawasan hutannya sendiri, berbagai konflik kepentingan timbul di sejumlah daerah. Implementasi otonomi daerah yang tak sejalan dengan konstitusi yang melatar belakanginya turut mewarnai timbulnya carut-marut pengelolaan hutan di tingkat lokal maupun nasional.
Berbagai polemik kehutanan nasional maupun lokal muncul terkait kebijakan yang dekonstruktif. Pincangnya kebijakan dan lemahnya peradilan menyulut timbulnya konflik antar aktor pelaku, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, stakeholder non pemerintah, maupun masyarakat lokal. Realitas konflik ini mencakup konflik vertikal maupun horizontal. Menurut Hugh Miall dkk, konflik merupakan ekspresi heterogenitas kepentingan, nilai, dan keyakinan yang muncul sebagai formasi baru akibat perubahan sosial yang timbul bertentangan dengan hambatan yang diwariskan. Konflik timbul secara alamiah menyertai kebijakan pengelolaan SDH. Namun, eskalasi konflik dan tindakan manajemen yang salah akan memicu dampak secara kolektif. Overlapping kepentingan, paradigma, dan cara pemanfaatan SDH akan memicu munculnya konflik ke permukaan. Dalam tingkat yang lebih serius, konflik akan berkembang menjadi kekerasan sebagai bentuk ekspresi konflik akibat adanya pelanggaran terhadap hak-hak personal.
Dalam praktek pengelolaan hutan selama ini, aspek sosial cenderung termarginalkan. Bentuk fragmentasi fungsi-fungsi hutan (ekonomi, ekologi, sosial) telah memperlebar gap di antara stakeholder (pemangku kepentingan). Pembangunan yang berorientasi ekonomi semata rentan mengakibatkan perusakan sumber daya hutan tanpa didukung upaya perbaikan dan perlindungan ekosistem yang memadai. Banyaknya paradoks yang muncul sebagai isu-isu pragmatis dipicu ketidakseimbangan arah kebijakan dan realitas pelaksanaan pembangunan skala nasional maupun lokal. Faktanya, dinamika otonomi daerah semakin menunjukkan kemunduran yang problematis di semua sektor kehidupan, termasuk kehutanan. Pembentukan LMDH sebagai instrumen kelengkapan program PHBM belum mampu mengatasi konflik kehutanan lokal. Kasus penembakan pencari rencek (kayu bakar) di Hutan Sekidang pada bulan April 2008 silam oleh aparat Perhutani di wilayah Kedung Adem menunjukkan suatu disharmoni hubungan pengelola dengan masyarakat. Kesalahpahaman akibat minimnya koordinasi dan komunikasi telah memicu konflik yang tereskalasi dalam bentuk kekerasan fisik. Delegitimasi dan disfungsi kelembagaan lokal, serta timbulnya krisis kepercayaan kian mempercepat tergerusnya tatanan sosial yang berdampak sistemik terhadap kelestarian hutan.
Akar permasalahan timbulnya konflik ini sebenarnya terletak pada claim  negara terhadap SDA yang tanpa batas. (Awang, 2003). Perubahan persepsi tentang substansi pasal 33 UUD 1945 melandasi munculnya dominasi elit politik terhadap penguasaan SDA. Pergeseran arah pengelolaan SDA yang berbau kapital semakin mendiskriminasikan hak-hak masyarakat lokal atas kesejahteraan hidupnya. Padahal sejatinya, masyarakat merupakan aktor penting dalam pengelolaan kehutanan lokal. Pemerintah dinilai belum mampu mensinergikan elemen-elemen vital dalam pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Kesenjangan sosial dan pengabaian hak-hak masyarakat lokal kian mempersulit masyarakat atas tercapainya peningkatan taraf hidup. Rendahnya akses masyarakat desa hutan terhadap potensi SDH dipicu realitas pelaksanaan otonomi yang tak merata. Implementasi pengelolaan kehutanan tanpa didasari pemahaman tentang kompetensi local specific serta adanya pengabaian hak-hak tenurial masyarakat lokal, berpotensi terjadinya kerusakan sumber daya alam secara masif serta problematika kehutanan yang kompleks.
Tumpang tindih pengelolaan kehutanan lokal secara tidak langsung turut mempengaruhi problematika kehutanan nasional. Banyak konflik sosial kehutanan yang belum menemukan resolusinya. Di luar Jawa contohnya, sengketa lahan dan regulasi tata batas yang tak jelas masih banyak dijumpai. Carut marut ijin pemanfaatan hasil hutan oleh HPH/IUPHHK hanya menyisakan pemiskinan sektoral bagi masyarakat adat setempat. Selain itu, konversi lahan hutan menjadi perkebunan maupun area tambang oleh sektor swasta turut mempercepat laju degradasi dan deforestasi hutan. Realitas ini menggambarkan adanya disharmoni kebijakan yang memperlemah koordinasi dan kooptasi lintas sektoral, lintas regional, maupun lintas aktor. Kebijakan yang kompromis oleh pemerintah, serta praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) secara laten terhadap pemanfaatan SDH dan kawasan hutan kian memperburuk potret kehutanan nasional.

Siapkah Kita Berbenah ?
Kebijakan desentralisasi membawa dampak signifikan terhadap pengelolaan sumber daya alam. Peluang renegosiasi atas hak-hak dan kepentingan terhadap SDA, termasuk SDH oleh aktor-aktor lokal begitu besar (Suporahardjo & Abidah, 2008). Konsekuensi logis adanya desentralisasi adalah perubahan struktural diikuti distribusi kewenangan yang balance antara pusat dan daerah. Namun, kenyataan ini menghadapkan kita pada fenomena yang kontradiktif. Pelaksanaan desentralisasi secara parsial rentan memicu berbagai konflik dan dampak sistemik terhadap kelestarian hutan. Kondisi di lapangan menyajikan fakta kemunduran arah pembangunan hutan. Dukungan kebijakan desentralisasi belum mampu dijawab secara tegas oleh para stakeholder, menyusul maraknya korporasi yang menggejala di tataran elit politik. Korporatisme semacam ini telah mengaburkan paradigma Community Forestry (kehutanan masyarakat) atau Social Forestry (kehutanan sosial).
Dinamika pelaksanaan desentralisasi dinilai begitu identik dengan politik praktis. Atmosfir politik yang panas muncul menyusul tumpang tindih pelaksanaan UU No. 22/1999 yang diperbaharui dengan UU No.32/2004. Kebebasan akses yang diharapkan daerah, serta sikap pusat yang cenderung otoriter tak kunjung menemukan titik penyatuan peran. Respon positif di awal pelaksanaan desentralisasi ternyata hanya sebatas euphoria sesaat. Minimnya akuntabilitas dan pelayanan publik menjadikan peluang desentralisasi ini terasa hambar. Kondisi ini bisa dilihat dari munculnya isu pelaksanaan PHBM setengah hati oleh Perhutani. Implementasinya disinyalir hanya sebatas untuk kepentingan pertanggungjawaban perusahaan dan pemerintah atas munculnya konstitusi yang melatarbelakanginya. Sedangkan, masyarakat cenderung menjadi obyek klise yang tak terberdayakan sebagaiman mestinya.
Urgensi peran dan fungsi para stakeholder merupakan kajian utama pembenahan konsep desentralisasi kelola hutan. Desentralisasi pengelolaan hutan yang hanya mengedepankan hasil dan tujuan belaka tidak akan berjalan optimal tanpa dukungan pemenuhan persyaratan dan proses yang mengiringinya. Ribot (2002) dalam Suporahardjo & Abidah (2008) menyebutkan persyaratan itu antara lain : (a) transfer wewenang tata kelola SDA yang jelas dan berkelanjutan kepada pemerintah lokal yang memiliki akuntabilitas terhadap publik; (b) peningkatan partisipasi masyarakat terhadap pengambilan keputusan; (c) peningkatan kapasitas pemerintah pusat dalam mendistribusikan tanggungjawab tiap aktor, serta menyusun panduan kebijakan dan perangkat monitoring dan evaluasi; (d) pemberdayaan dan kepercayaan kepada kapasitas rakyat (Ribot dan Agarwal, 2006); (e) membangun institusi yang bertanggungjawab di semua level pemerintahan; (f) pengembangan koalisi antar multistakeholder sebagai bentuk desentralisasi yang demokratis. Agung dan Murtijo (2005) pun menambahkan bahwa dalam rangka menyempurnakan program pembangunan diperlukan upaya pemberian ruang partisipasi institusi lokal untuk merencanakan sekaligus menjalankan program pembangunan sesuai kebutuhan dan jati diri masyarakat.
 Dukungan terhadap pembangunan hutan berkelanjutan (sustainable) membutuhkan  pembenahan secara komprehensif di segala lini. Pembenahan arah tata kelola hutan harus mencakup perubahan paradigmatik serta menjamin pelaksanaan  demokrasi yang lebih ideal. Untuk itu diperlukan restrukturisasi kelembagaan dan konstitusi di semua level secara holistik. Konsepsi perbaikan sistem ini dapat terfasilitasi melalui upaya konsultasi publik. Tujuan penyelenggaraan konsultasi publik ini adalah pencapaian resolusi konflik yang representatif bagi semua pihak, termasuk pelibatan partisipasi masyarakat lokal. Konsultasi publik dalam konteks pengelolaan SDH yang melibatkan banyak stakeholder, diperlukan dalam rangka membentuk “kontrak sosial baru” (Awang, 2003). Kontrak sosial baru akan memasifkan upaya revitalisasi peran dan fungsi para stakeholder.
Tendensi pelaksanaan tata kelola hutan yang ideal tidak cukup dilandasi atas  pembangunan aspek ekonomi dan ekologi belaka, tetapi mencakup aspek sosial budaya di tingkat lokal. Eksistensi masyarakat desa hutan akan menjadi benteng tangguh untuk menahan masuknya budaya negatif modernisasi dan globalisasi yang tidak sesuai dengan sistem tata nilai budaya setempat, khususnya konsepsi tentang pengelolaan dan pemanfaatan SDH secara lestari dan berkelanjutan (Agung dan Murtijo, 2005). Pembangunan kapasitas sosial (social capacity building) akan membuka peluang masuknya sendi-sendi demokrasi dalam praktik desentralisasi kelola hutan. Konsep PHBM yang diusung Perhutani harus mampu mensinergikan kesinambungan peran antar aktor pelaku (stakeholder) yang berkepentingan terhadap SDH. Dominansi elit politik perlu direduksi dan diseimbangkan oleh peran aktor lokal.
Ibarat pedang bermata dua, desentralisasi menjamin progresivitas pengelolaan hutan melalui terbukanya peluang dan akses lokal terhadap pemanfaaatan SDH. Namun, di sisi lain praktiknya mengancam kehancuran sendi-sendi demokrasi akibat pragmatisme kepentingan oleh oknum-oknum tertentu. Lantas, siapkah kita berbenah ? Pertanyaan itu bukanlah sekedar refleksi sesaat yang sifatnya normatif, atau bukan pula sebuah shock terapy  yang datang bak mimpi di siang bolong. Kita semua tahu dan paham bahwa fenomena semacam ini bukan sebuah diskursus baru. Banyak aktor pengamat lingkungan, elit politik, praktisi hukum, pengusaha swasta, kaum akademisi dan ilmuwan, organisasi sosial serta pihak-pihak lain yang merasa berkepentingan dan peduli terhadap permasalahan ini telah mendiskusikannya dalam berbagai media. Namun, sejumlah inisiatif itu belum mampu memunculkan resolusi pembenahan strategi dan jawaban permasalahan kehutanan kekinian. Haruskah kita terus berdiam diri dan menutup mata meratapi hutan yang semakin habis digerogoti kebiadaban zaman ini?





Referensi:
Adam, S.J.; Raharjo, I.F. 2007. Dialog Hutan Jawa : Mengurai Makna Filosofis PHBM. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Awang, San Afri (Ed), dkk. 2000. Kelembagaan Kehutanan Masyarakat, Belajar dari Pengalaman.  Yogyakarta : Aditya Media.
Awang, San Afri. 2003. Politik Kehutanan Masyarakat. Yogyakarta : Kreasi Wacana
Awang, San Afri. 2004. Dekonstruksi Social Forestry : Reposisi Masyarakat dan Keadilan Lingkungan. Yogyakarta : Bigraf Publishing.
Awang, San Afri. 2011. Hutan dan Masyarakat : Konflik Tenurial dan Tata Kelola. Makalah disampaikan dalam Acara Workshop Masyarakat dan Hutan : Peluang Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Lindung di Indonesia. Fakultas Kehutanan UGM, 30 September 2011.
Budimanta, Arif; Rudito, Bambang. 2003. Metode dan Teknik Pengelolaan Community Development. Jakarta : ICSD (Indonesia Center for Sustainable Development).
Murjito; Nugraha, Agung. 2005. Antropologi Kehutanan. Banten : Wana Aksara.
Setyowati, A.B., dkk.  2008. Desentralisasi Tata Kelola Hutan di Indonesia : Tantangan Menyiasati Politik Lokal. Bogor : Pustaka LATIN.
Soleh, Ridwan, dkk. 2010. Saatnya Kami “Berdaulat”. Jakarta : Dana DIPA Direktorat Konservasi Kawasan.
Yuwono, T.; Putro, W.T. 2008. Cooperative Forest Management : Potret Pengelolaan Hutan Kabupaten Ngawi di Era Otonomi Daerah. Yogyakarta : Datamedia.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar