Jumat, 09 Desember 2011

PERAN KEHUTANAN DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DAN KERANGKA IMPLEMENTASI REDD+

PERAN KEHUTANAN DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DAN KERANGKA IMPLEMENTASI REDD+

Pemanasan Global (Global Warming) dan Perubahan Iklim : Suatu Telaah Reflektif
Pemanasan global (global warming) sudah menjadi fakta tak terbantahkan di tingkat global maupun lokal. Peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi sebagai akibat efek rumah kaca telah menimbulkan dampak yang begitu nyata, yaitu perubahan iklim. Anomali iklim yang serta merta terjadi di seluruh bagian dunia menjadi sorotan hangat di semua kalangan, baik lintas sektor maupun lintas aktor. Histerianya disusul dengan bentuk degradasi spasial terhadap kualitas fisik dan material bumi. Beberapa di antaranya memang kurang terasa, sementara sisanya begitu nyata di hadapan kita. Bagi sebagian orang, isu perubahan iklim mungkin masih begitu abstrak karena dampaknya hanya terlihat nyata di lingkungan yang terasing dan non kualitatif. Namun bagi negara-negara besar yang notabene sebagai pengguna energi bumi, baik yang berasal dari dalam maupun sumber daya hayati secara eksploitatif, tentunya akan menyadari bagaimana iklim itu menunjukkan perubahannya. Katakanlah seperti bencana banjir dan kekeringan yang selalu menyapa dalam setiap pergantian musim yang tak teratur. Seperti sudah ditakdirkan dari awal, kerusakan bumi pasti tak bisa dihindari. Seperti yang dikatakan oleh ahli biologi Camille Parmesan dalam penelitiannya tentang efek perubahan iklim terhadap kehidupan liar di seluruh dunia, bahwa dampak perubahan iklim sudah terasa di setiap benua dan samudra. Tidak ada kawasan yang kebal terhadap perubahan tersebut, bahkan di sejumlah wilayah yang rentan terhadap perubahan iklim mengalami penurunan serta kepunahan sejumlah spesies.
. Sejenak kita cermati, sejatinya Gas Rumah Kaca (GRK) yang secara alamiah ada untuk menjaga stabilitas suhu bumi telah kehilangan kontrol akan fungsi aslinya. Efek rumah kaca membuat panas terakumulasi di bumi dengan sedikit yang bisa terbuang ke atmosfer. Kontributor terbesar pemanasan global saat ini adalah Karbon Dioksida (CO2), metana (CH4) yang dihasilkan agrikultur dan peternakan (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari pupuk, dan gas-gas yang digunakan untuk kulkas dan pendingin ruangan (CFC). Rusaknya hutan-hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyimpan CO2 juga makin memperparah keadaan ini karena pohon-pohon yang mati akan melepaskan CO2 yang tersimpan di dalam jaringannya ke atmosfer. Setiap gas rumah kaca memiliki efek pemanasan global yang berbedabeda. Beberapa gas menghasilkan efek pemanasan lebih parah dari CO2. Sebagai contoh sebuah molekul metana menghasilkan efek pemanasan 23 kali dari molekul CO2. Molekul NO bahkan menghasilkan efek pemanasan sampai 300 kali dari molekul CO2. Gas-gas lain seperti chlorofluorocarbons (CFC) ada yang menghasilkan efek pemanasan hingga ribuan kali dari CO2. Tetapi untungnya pemakaian CFC telah dilarang di banyak negara karena CFC telah lama dituding sebagai penyebab rusaknya lapisan ozon.
Karbon dioksida dulu tidak mempunyai reputasi yang begitu buruk. Gas ini dibutuhkan oleh tanaman untuk melakukan proses fotosintesis dan, seperti gas rumah kaca lainnya, berguna untuk mempertahankan suhu bumi di malam hari dengan menahan sebagian pancaran balik cahaya matahari. Temperatur bumi ini juga dipengaruhi oleh faktor alam lain seperti perubahan matahari dan letusan gunung berapi yang besar. Namun, konsentrasi karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya meningkat drastis setelah adanya industrialisasi dan sejak manusia mulai menggunakan bahan bakar fosil, yang melepaskan banyak karbon ke atmosfer. Semakin banyak pancaran balik cahaya matahari yang terperangkap dan temperatur bumi naik dengan rata-rata sekitar 0,4 derajat Celcius sejak tahun 1970-an. Sembilan dari 10 tahun terpanas dalam sejarah terjadi pada dekade terakhir, bahkan tahun 2010 tercatat sebagai tahun terpanas, sejajar dengan tahun 2005. Banyak orang pada awalnya menentang adanya perubahan iklim dan mempertanyakan peran manusia di dalamnya. Setelah mengkaji ratusan hasil studi dari seluruh dunia, para ahli yang tergabung dalam Intergovernmental Panel on Climate Change pada tahun 2007 sepakat bahwa kegiatan manusia merupakan penyebab utama pemanasan global. Faktor alam semata tidak cukup kuat untuk menjelaskan pemanasan secepat ini. Kenaikan suhu bumi tidak boleh melampaui 2 derajat pada tahun 2025 untuk membatasi akibat buruknya bagi hidup manusia.
Perubahan iklim membawa dampak ekologis yang besar bagi kehidupan di bumi. Iklim yang semakin panas akan mempengaruhi ketersediaan air serta meningkatkan intensitas kondisi cuaca ekstrim seperti badai dan kekeringan. Banyak petani di Indonesia sudah merasakan hal ini dalam kesulitan mereka untuk memperkirakan waktu tanam dengan musim yang semakin tidak menentu. Lapisan es di kutub juga mencair dan akan menyebabkan meningkatnya permukaan air laut. Indonesia memiliki 55.000 kilometer pantai, kedua terpanjang di dunia setelah Kanada, dan kenaikan permukaan laut ini akan menimbulkan banyak kesulitan di daerah padat penduduk serta hilangnya pulau-pulau kecil. Bukan hanya manusia, perubahan iklim juga mempengaruhi tanaman dan binatang yang memiliki batas adaptasi ekologis yang rendah. Sebagian mungkin bisa pindah dan beradaptasi, tetapi yang lain akan punah. Beruang kutub, misalnya, tidak akan bisa pindah ke mana-mana jika lapisan es tempat mereka hidup sudah mencair. Para pakar iklim telah banyak berpendapat tentang kondisi bumi untuk 1-2 dekade ke depan. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), sebuah lembaga peneliti iklim dari asosiasi pakar ilmu bumi terkemuka pernah memprediksikan kenaikan permukaan air laut sebanyak 18-58 cm di tahun 2100, bahkan bisa mencapai 90 cm atau lebih. Tentu bisa kita bayangkan apa yang terjadi nantinya jika prediksi itu benar terbukti. Samudra Antartika merupakan contoh nyata pemanasan global yang melaju cepat menyusut dan menipiskan bantalan es sejak awal 1990-an.
Masalah perubahan iklim dan global warming ini sudah perlu mendapatkan penanganan yang serius dari semua pihak. Ini bukan lagi sekedar persoalan para peneliti atau lembaga terkait, tapi ini adalah tangung jawab kita bersama. Budaya kuldesak yang merajalela, meniadakan lahan hutan atau bentuk lingkungan alami menjadi lahan-lahan pemukiman, industri, serta bentuk infrastruktur lainnya harus dibatasi secara hukum. Sebut saja daerah Kalimantan yang hutannya semakin menyusut akibat pembukaan lahan hutan sebagai sarana transportasi dan sejumlah penambangan serta perkebunan. Dapat dilihat dampak deforestasi yang meluas tanpa dibarengi usaha reklamasi lahan secara tepat dan cepat. Tak ayal jikalau sering kita dapati berbagai bentuk bencana alam yang kerap menimpa wilayah nusantara ini. Dari kondisi iklim musiman yang kita miliki, wilayah nusantara rentan terhadap banjir kala musim penghujan dan kekeringan kala musim kemarau.

Kehutanan : Antara Idealita dan Realita
Kehutanan merupakan sektor vital bagi pencapaian kesejahteraan masyarakat, di mana terdapat hubungan alamiah antara masyarakat dan hutan. Hutan menyediakan berbagai sumber daya untuk kebutuhan manusia, dan manusia berperan sebagai subyek pengelola. Besarnya potensi hutan, terutama di Indonesia menjadikan kehutanan sebagai sektor yang potensial bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi negara. Hutan di zaman kejayaannya, pernah menjadi primadona pemerintah sebagai menyumbang devisa terbesar bagi negara, selain sektor pertambangan. Salah satu manfaat hutan adalah sebagai stabilisator kelestarian ekologi. Posisi hutan sebagai paru-paru dunia menjadikan peranannya begitu kompleks dalam menjaga stabilitas iklim di bumi dan atmosfer. Hal ini adalah erat kaitannya dengan fungsi hutan sebagai penyerap dan penyimpan karbon (carbon sink and sources).
Ada sekitar 4 miliar hektar hutan di dunia, yang menutupi hampir 30 persen dari wilayah daratan bumi. Sekitar 56 persen dari hutan itu berlokasi di wilayah tropis dan subtropis. Indonesia memiliki hutan tropis ketiga terluas di dunia – hanya Brazil dan Kongo yang mempunyai hutan tropis yang lebih besar. Manusia sejak dulu telah memanfaatkan hutan dan berbagai jasa ekosistem yang ditawarkannya, seperti perlindungan tanah dan penyimpanan air. Sejumlah 1,2 miliar penduduk dunia diperkirakan menggantungkan penghidupan kepada hutan dan sekitar sepertiga total populasi dunia menggunakan bahan bakar biomasa, terutama kayu bakar untuk keperluan memasak dan menghangatkan rumah mereka. Tidak hanya bermanfaat untuk manusia, hutan pun menjadi rumah bagi berbagai spesies lainnya. Menurut catatan Bank Dunia, hutan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang begitu tinggi, yaitu 17 persen dari spesies burung, 16 persen reptil dan hewan amfibi, 12 persen mamalia dan 10 persen tumbuhan di dunia.
Namun, kondisi ini berujung pada keprihatinan tatkala sektor kehutanan dijadikan sapi perahan dalam eksploitasi sebesar-besarnya untuk kepentingan ekonomi belaka. Wajah politik dan kebijakan pengelolaan hutan yang sentralistik (state based) pada era orde lama dan orde baru membuktikan bahwa pengelolaan hutan berbasis kepentingan ekonomi telah menunjukkan dampak degradasi dan deforestasi hutan. Kepentingan sempit yang menjadi paradoks amanat pengelolaan SDA sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat sudah mencapai kompleksitas problematika global. Marginalisasi kepentingan masyarakat lokal turut mendorong timbulnya berbagai konflik sosial yang berujung pada kekerasan struktural terhadap masyarakat. Lantas, dampak konkrit di lapangan menunjukkan realitas pemiskinan masyarakat lokal di semua aspek. Realita pengelolaan hutan yang salah kaprah secara ekologis menimbulkan dampak instabilitas iklim global. Fakta ini semakin mengemuka dalam setiap kajian yang tak pernah habis perkaranya, yakni Fenomena Pemanasan Global (Global Warming).
Sejatinya, dalam perputaran iklim, hutan memiliki peran ganda. Deforestasi dan degradasi hutan melepas karbon yang tersimpan dalam pohon atau lahan gambut. Diperkirakan jumlah emisinya mencapai antara 17-20 persen total emisi gas rumah kaca dunia, lebih besar daripada emisi sektor transportasi global. Selain itu, hutan yang sehat menyerap karbon dioksida dari atmosfer untuk membantu proses fotosintesis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 15 persen dari 32 miliar ton karbon dioksida yang dihasilkan setiap tahun oleh kegiatan manusia diserap oleh hutan. Jadi, ketika hutan rusak, kita rugi dua kali. Kita tidak hanya melepas karbon dari pohon, tetapi juga kehilangan kemampuan hutan untuk menyerap karbon dioksida. Peran hutan menjadi lebih penting lagi dalam kebijakan perubahan iklim di Indonesia. Hutan menutupi antara 86 – 93 juta hektar, atau hampir setengah total wilayah darat negara ini. Menurut data terakhir Kementerian Kehutanan, Indonesia kehilangan 1.18 juta hektar hutan setiap tahunnya. Deforestasi dan perubahan tata guna lahan, termasuk lahan gambut, menghasilkan sekitar 60 persen total emisi Indonesia. Struktur emisi seperti ini membuat Indonesia memilih penanganan deforestasi dan degradasi hutan sebagai salah satu cara utama mengurangi emisi dan menghadapi perubahan iklim. Hal ini sesuai dengan kesepakatan global untuk memasukkan skema REDD+, yaitu insentif positif bagi negara berkembang yang melindungi hutannya, dalam perjanjian yang mulai berlaku Protokol Kyoto berakhir pada tahun 2012.

Kehutananan dalam Kerangka REDD+ : suatu keniscayaan ?
Kompleksitas permasalahan iklim dan semakin besarnya dampak pemanasan global ini mendorong upaya masyarakat internasional untuk merumuskan kebijakan pengurangan emisi karbon yang ditandai oleh adanya Protokol Kyoto pada tahun 1997 silam. Protokol Kyoto adalah sebuah amandemen Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC, yang diadopsi pada Pertemuan Bumi di Rio de Janeiro pada 1992). Semua pihak dalam UNFCCC dapat menanda tangani atau meratifikasi Protokol Kyoto, sementara pihak luar tidak diperbolehkan. Protokol Kyoto diadopsi pada sesi ketiga Konferensi Pihak Konvensi UNFCCC pada 1997 di Kyoto, Jepang. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global.
Kebijakan yang dihasilkan dalam rumusan tersebut kita kenal dengan istilah REDD (Reduce EmissionS from Deforestation and Forest Degradation) yang lantas disempurnakan dengan REDD+. REDD+ merupakan suatu mekanisme global yang bertujuan untuk memperlambat perubahan iklim dengan memberikan kompensasi kepada negara berkembang untuk melindungi hutannya. Skema ini mulai menjadi perdebatan yang hangat sejak Papua Nugini dan Kosta Rika menjabarkan proposal pengurangan emisi deforestasi pada diskusi perubahan iklim pada tahun 2005. Indonesia maju untuk memperjuangkan REDD pada konvensi perubahan iklim di Bali tahun 2007, di mana ide tersebut telah berkembang dengan mengikutsertakan isu ‘degradasi hutan’. Berbagai usul penambahan isu tentang agroforestri dan pertanian juga muncul. REDD berkembang lebih jauh lagi -- tanda ‘plus’ di belakangnya menambahkan konservasi dan pengelolaan hutan secara lestari, pemulihan hutan dan penghutanan kembali, serta peningkatan cadangan karbon hutan. Dengan cepat REDD+ menjadi faktor penting dalam berbagai negosiasi internasional karena dianggap sebagai salah satu cara paling murah untuk memperlambat laju perubahan iklim. Modelnya menuruti prinsip “common but differentiated responsibility”, di mana negara maju, yang menghasilkan banyak emisi dalam proses industrialisasi dan untuk menopang gaya hidup, menyediakan dana dan teknologi untuk negara berkembang sebagai bentuk komitmen mengurangi dampak emisi karbon mereka.
Walaupun gagasannya tampak sederhana, implementasi di lapangan jauh lebih sulit. Tantangan-tantangan besar di dalam mekanisme ini termasuk bagaimana mengukur karbon secara akurat, bagaimana memastikan dana sampai ke komunitas hutan dengan transparan dan efisien, siapa yang akan bertanggung jawab apabila hutan ternyata tetap rusak, serta sumber pendanaan. Lebih dari 30 model tentang bagaimana REDD+ seharusnya dilaksanakan telah diajukan oleh berbagai negara dan organisasi non pemerintah. Dalam konvensi perubahan iklim terakhir di Cancun tahun 2010, dunia telah sepakat untuk memasukkan REDD+ dalam mekanisme yang akan berlaku setelah Protokol Kyoto berakhir di tahun 2012. Dana sudah mulai mengalir, misalnya dari Norwegia, yang berkomitmen untuk mengucurkan dana sampai US$ 1 miliar untuk Indonesia di bawah payung REDD+. Indonesia menjadi salah satu negara terdepan dalam persiapan REDD+ dengan mengeluarkan berbagai peraturan terkait dan mencanangkan propinsi Kalimantan Tengah sebagai propinsi percontohan. Rencana Aksi Nasional mengamanatkan adanya moratorium penebangan hutan, yang juga merupakan bagian dari kesepakatan dengan Norwegia, serta pembenahan tata kelola hutan secara keseluruhan. Moratorium yang akan berlaku selama 2 tahun, berlaku secara retroaktif mulai 1 Januari 2011, sedang digodok.
Konsekuensi logis adanya konsepsi ini tentu mendorong sektor kehutanan untuk berbenah dalam rangka revitalisasi peran keseluruhan aspek di dalamnya. Oleh karena itu, segala koridor di balik prosesi tata kelola hutan mesti diupayakan untuk terjaminnya kelestarian. Dalam hal ini, aspek utama yang perlu dibenahi adalah terkait perencanaan pengelolaan hutan secara lebih ideal dan optimal. Jika REDD hanya mencakup kegiatan yang memungkinkan pengurangan emisi CO2 yang disebabkan oleh deforestasi dan degradasi hutan, maka kajian REDD+ lebih luas, yakni untuk memperkuat dan memperluas peran hutan sebagai sumber karbon. Porsi yang diambil sector kehutanan sebesar 14 % terhadap implementasi REDD+ ini. Hal ini dapat dicapai dengan mendukung konservasi hutan, pengelolaan hutan lestari dan peningkatan cadangan karbon hutan. REDD+ dapat menjadi strategi mitigasi perubahan iklim yang relatif biaya-efektif yang dengan perhatian yang tepat untuk fungsi sosial dan lingkungan dari negara-negara hutan akan dapat menciptakan manfaat tambahan bagi masyarakat, masyarakat dan konservasi keanekaragaman hayati.
Beberapa program yang dapat dilakukan dalam rangka pengurangan emisi dari sektor kehutanan, antara lain: menekan laju deforestasi melalui a) Pengendalian penggunaan dan pelepasan kawasan hutan; dan b) Penghentian izin baru dan konversi di hutan gambut untuk pertanian dan pemukiman. Untuk implementasi program ini diperlukan penyiapan peraturan perundangan, antisipasi/strtegi untuk memfasilitasi kebutuhan sek tor lain baik secara parsial maupun dalam revisi RTRWP, serta upaya mengatasi terjadinya deforestasi yang tidak tencana. Mengurangi degradasi melalui a) Penerapan RIL (Reduced Impact Logging); b) Rehabilitasi hutan gambut; dan c) Pengaturan & penurunan jatah tebang. Disamping langkah/solusi teknis tersebut diperlukan kebijakan yang tegas tehadap IUPHHK-HA dan IUPHHK-HT yang kinerjanya buruk. Pengelolaan hutan produksi lestari melalui a) Penerapan multi system silvikultur; dan b) Penerapan sertifikasi legalitas kayu (SVLK). Peningkatan Peran Konservasi melalui a) Intensifikasi pengelolaan kawasan konservasi; dan b) Menetapkan areal lindung lokal (setempat) yang mempunyai nilai konservasi tinggi (HCV) di areal kerja IUPHHK-HA dan IUPHHK-HT.
Peningkatan Stok Karbon Hutan melalui pembangunan hutan 1,6 jt ha/th dalam bentuk HKm/Hutan Desa, RHL DAS, HTI/HTR, Restorasi HPH, dan Hutan Rakyat kemitraan juga menjadi solusi positif dalam implementasi REDD+. Program-program tersebut dalam implementasinya memerlukan dukungan antara lain berupa perlunya kebijakan lintas sektor, penyiapan peraturan perundangan terkait karbon (pembatasan pemanfaatan lahan gambut, hutan alam primer, dsb), mekanisme penyelesaian konflik kawasan termasuk di dalamnya adanya keterlanjuran kegiatan non kehutanan di dalam kawasan hutan, reformasi birokrasi yang antara lain percepatan pembentukan KPH, serta pemutakhiran data dan informasi. Proses tata kelola yang pro masyarakat identik dengan tujuan pengelolaan hutan lestari, di mana aspek sosial menjadi salah satu parameter ukurannya. Oleh karena itu, pemberdayaan peran masyarakat dalam upaya peningkatan partisipasi masyarakat juga menjadi kajian penting mengingat masih banyaknya konflik sosial di lapangan. Partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan cukup relevan dengan tujuan pembangunan daerah dan penguatan sendi-sendi demokrasi. Partisipasi membuka peluang akses terhadap peningkatan peran dan kapasitas sosial masyarakat, serta peluang pemanfaatan dan pengelolaan SDH secara lebih proporsional. Dalam hal ini, masyarakat dapat berpartisipasi untuk menentukan strategi pengelolaan hutan yang efektif diterapkan di wilayahnya sesuai dengan kemampuan biofisik lahan dan nilai sosial budaya setempat (local specific). Dengan pengelolaan secara partisipatif, diharapkan arah pengambilan kebijakan pengelolaan hutan mampu mengakomodir kepentingan masyarakat lokal sebagai salah satu stakeholder penting, bahkan yang utama.
Semangat partisipasi menjadi salah satu indikator pelaksanaan pembangunan hutan, di mana masyarakat desa hutan diposisikan sebagai aktor utama yang menentukan arah kelestarian hutan. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan akan semakin menegaskan arah pembangunan hutan secara ideal dan tepat, dengan dukungan pengalaman teknis masyarakat di lapangan. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan SDH secara desentralistik sudah sewajarnya ditingkatkan mengingat banyaknya konflik tenurial akibat marginalisasi kepentingan masyarakat. Pelibatan masyarakat secara aktif dalam pengelolaan hutan, serta pemberdayaan masyarakat merupakan investasi jangka panjang guna mewujudkan kesetaraan hak, keadilan peran dan kepentingan, peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam rangka pengurangan prosentase kemiskinan, serta modal dasar menuju realisasi konsep sustainable forest management (SFM). Selanjutnya, dengan terbentuknya kaidah-kaidah pengelolaan hutan berdasarkan konsep SFM ini, maka peran kehutanan dalam mitigasi perubahan iklim dan kerangka implementasi REDD+ akan niscaya tercapai.






REFERENSI KAJIAN

Sumber Internet (diakses 6 Desember 2011, pkl. 13.00)
http://www.iucn.org/about/work/programmes/forest/fp_our_work/fp_our_work_thematic/redd/redd_plus_explained/
http://en.wikipedia.org/wiki/Reducing_Emissions_from_Deforestation_and_Forest_Degradation
http://vegclimatealliance.org/livestock-and-climate-change-qa
http://www.worldwatch.org/node/6294
http://www.reddindonesia.org/”apa%20itu%REDD-files?ga.js
http://www.reddindonesia.org/”perubahan%20iklim-files?ga.js
http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/6573

Sumber Bacaan
Akiefnawati, Ratna; dkk. 2010. Bersama Menjaga Hutan : Upaya Mengurangi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi di Desa Lubuk Beringin. Bogor : World Agroforestry Centre (ICRAF).
Angelsen, Arild; et all. 2009. Realising REDD+ : National Strategy and Policy Options. Bogor : CIFOR.
Cronin, Tim; Santoso, Levania. 2011. Politik REDD+ di Media : Studi Kasus dari Indonesia. Working Paper 54. Bogor : CIFOR.
Murdiyarso, Daniel; et all. 2011. Indonesia’s Forest Moratorium: A Stepping Stone to Better Forest Governance ?. Working Paper 76. Bogor : CIFOR.
Verchot, Louis V., et all. 2010. Mengurangi Emisi Kehutanan di Indonesia. Bogor : CIFOR .

4 komentar:

  1. Good information! tapi tolong pertimbangakan lagi template design blog... jujur, watermark template ini mengganggu saat mencerna tiap hurup-hurup yang disajikan. Atau mataku yang sudah terlalu tua ya?

    BalasHapus
  2. Hutan adalah paru-paru bumi ini, jika mereka hilang lalu dengan apa kita bernafas ;)

    Maaf ya, mungkin font nya bisa bi besarkan sedikit ;)

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. thanks for information, very good

    BalasHapus